SUATU ketika The Madman (seorang gila), berkata pada orang-orang di tengah hiruk-pikuk publik; “Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. …”
Kutipan di atas, diungkapkan oleh Nietzsche, Kurang lebih 136 tahun lalu, dalam Also sprach Zarathustra melalui mulut The Madman untuk mengkritik kehidupan Barat yang cenderung melupakan Tuhan dalam pendewaan ilmu pengetahuan.
14 Agustus 2021 lalu, terbit sejudul kolom yang ditulis guru dan panutan saya dan banyak orang, Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A, pada pada rubrik Jendela Langit; “HMI Sudah Tiada”. Judul dan pernyataan ini sesungguhnya hal biasa saja. Tidak ada hal yang cukup menyentakkan jiwa. Mengapa biasa? Karena, jangankan HMI yang baru berusia 74 tahun, Tuhan yang menciptakan jagad raya ini pun telah dimatikan sejak 136 tahun lalu.
Sebagaimana “Gott ist tot”, “Tuhan sudah Mati”, “HMI sudah Tiada” mestinya dibaca juga sebagai kritik buat HMI sebagai organisasi dan buat setiap orang yang pernah berhimpun di dalamnya. Penulisnya melihat bahwa HMI dan kadernya telah jauh dari apa yang dicitakan sejak awal; untuk membentuk manusia yang memiliki kualitas “insan cita”. Ada tradisi intelektual dan rasionalisme Islam yang dipandangnya hilang saat ini. Tidak hanya hilang, tapi juga berkembang tradisi yang cenderung pada tujuan-tujuan praktis. Dan itulah yang membuat HMI sudah tiada. Dibunuh oleh kader-kadernya sendiri.
Sampai di sini, soal “HMI sudah Tiada” telah selesai. Inilah kritik yang sangat positif dan konstruktif. Kita tinggal menunggu orang-orang HMI mengevaluasi dirinya, membangkitkan ulang tradisi intelektual Islam yang sejak awal menjadi spirit organisasi, dan yang paling penting membangun cara bergerak dan berkontribusi positif untuk masa depan bangsa dan negara.
***
Jika hendak didekati dengan optik semiotik, tulisan “HMI sudah Tiada” sesungguhnya tidak hanya selesai pada soal HMI semata, tapi untuk seluruh umat Islam dan Indonesia. Ada kode-kode semiotik dalam tulisan tersebut dibuat melalui sejumlah tanda (sign) yang menjalin relasi satu sama lain, yang dapat ditafsir dalam berbagai makna.
Pertama, HMI MPO yang merepresentasikan “anasir radikalisme Islam”, disandingkan dengan HMI sebelum kehadiran HMI MPO (kader yang kurang lebih seusia dengan organisasi HMI) yang merepresentasikan rasionalisme Islam. Relasi yang bersifat oposisi binner ini mengisaratkan makna bahwa HMI MPO beserta apa yang ia representasikan adalah pilihan jalan kematian, dan HMI sebelumnya beserta apa yang ia representasikan adalah jalan benar. Yang pertama buruk, dan yang kedua baik.
Dalam pencermatan saya, menggunakan perspektif ini dapat keliru, sebab wacana rasionalisme Islam versus radikalisme Islam sesungguhnya merupakan perspektif lama yang justru dapat menjadi alat picu tingginya tensi perpecahan umat Islam. Karenanya pula, perspektif ini sangat resisten digunakan sebagai punggung tunggangan bagi kepentingan tertentu.
Radikalisme dalam Islam memang buruk dan harus ditinggalkan. Tidak pernah ada dalam sejarah Islam yang memperlihatkan bahwa radikalisme dapat membangun peradaban besar. Di sisi lain, bukankah The Madmannya Nietzsche sejak 136 tahun lalu telah memperingatkan pula bahwa Rasionalisme modern sanjungan Barat itu, telah menjadi mahluk jahat pembunuh Tuhan pemilik semua agama?
Kini jaman sudah berubah dan tuhan belum mampu hidup kembali. Jaman yang sedang kita hadapi adalah jaman pemuja hasrat. Akal dan agama belum mati tapi ia dihadirkan tak lebih dari sekedar alat (pembantu, budak) dari hasrat-hasrat liar manusia.
Kedua, generasi jaman now disandingkan generasi jaman old, dengan maksud untuk mencontoh jaman old. Perspektif ini juga sebenarnya kurang tepat digunakan sepenuhnya karena apa yang dianggap model terbaik di masa lalu hanya akan menjadi romatisme di masa kini dan masa depan. Sebab setiap masa memiliki modelnya sendiri-sendiri. Kita tidak berhak menilai model generasi sekarang dengan menggunakan standar model generasi masa lalu.
Ketiga, selfie dan warkop disandingkan dengan sibuk di laboratorium, kerja, bisnis, IT, dan sebagainya. Masih terkait dengan hal kedua di atas, dalam era digitalisasi saat ini, ruang dan waktu mengalami perubahan besar. Ruang dan waktu publik, ruang dan waktu pirivat, ruang dan waktu kerja, ruang dan waktu bisnis, ruang dan waktu santai, dan seterusnya, semuanya telah bergeser; menyatu satu sama lain yang nyaris tak memperlihatkan batas untuk membedakannya.
Di warkop tidak hanya tempat berkumpul peminum kopi. Di sana justru menjadi tempat di mana berbagai hal diperbincangkan dan di rencanakan, ada transaksi bisnis, ada diskusi publik, ada rapat terbatas, ada silaturrahmi, ada yang mengerjakan tugas-tugas kantor, tugas kuliah, dan sebagainya. Dan tentunya di sana mereka berkesempatan untuk berselfie ria sebagai selingan dan diunggah ke sosmed. Warkop mesti di lihat lebih luas, tidak sekedar ruang di balik pagar dan ruang background selfie.
Warkop dan sosmed justru lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Habermas sebagai ruang publik ideal, sebuah ruang yang sangat egaliter dan demokratis-delibertif. Bukan ruang publik elitis-formalis, yang dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu untuk suatu klaim kebenaran tertentu.
Di masa new era saat ini, seluruh definisi lama mesti berubah dan dirumuskan ulang. Dari sini kita bisa pahami, cara tradisional seperti; laboratorium tradisional, sibuk kerja ala tradisional, bisnis ala tradisional, dan ala tradisional lainnya yang pernah dianggap modern, tidak bisa lagi menjadi satu-satunya standar untuk menilai sesuatu yang berkembang di jaman sekarang. Sebab dari warkop, banyak pekerjaan bisa terselesaikan hanya dengan jaringan wifi. Warkop menjadi tempat perantara yang menghantarkan banyak pengunjungnya berselancar dari dunia nyata ke dunia virtual untuk menuntaskan pekerjaannya di dunia nyata.
Keempat, penggunaan klausa; label “I” yang sudah lama menipu bangsa. Label “I” (Islam) ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi, mulai dari organisasi mahasiswa, ormas, maupun parpol yang berbasis “I”. Mungkin termasuk organisasi anda saat membaca tulisan tersebut. Menurut penulisnya, organisasi merek ini sudah lama menipu bangsa. Kita harus mencari “I” yang sebenar-benarnya. Bukan “I” yang menghabiskan usia di meja warkop, melainkan “I” yang menghabiskan usia di meja-meja laboratorium.
Yang manakah Islam yang sebenarnya, di antara “I” yang beragam itu? Apakah hanya “I” asuhan laboratorium, atau hanya “I” yang dibincangkan di warkop-warkop, atau di group-group sosmed, atau hanya “I” yang di asuh di pesantren-pesantren?
Atau justru “I” yang sebenar-benarnya adalah “I” yang dapat hadir dan diterima di seluruh tempat di mana saja dalam jagad raya ini, dari warkop, laboratorium, pasar, pelabuhan, desa, kota, dan seterusnya, untuk memberi Rahmat.
Saya teringat suatu cerita, konon pada suatu kompleks pemukiman, seorang warga yang dipanggil dengan nama “Lakuttu”, membuat heboh. Pasalnya ia hidup di sebuah rumah dengan fasilitas cukup lengkap, sementara aktifitas rutinnya adalah di kamar tidur pada siang hari dan nongkrong di warkop sepanjang malam. Dari mana ia sendirian mendapatkan segalanya dengan sukses? Sementara seluruh warga yang lain, rajin bangun sejak awal pagi dan bekerja sepanjang hari, tetapi yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperoleh Lakuttu. Apa pekerjaan Lakuttu?
Masing-masing kita tentu memiliki jawaban sendiri. Saya ingin menjawab bahwa terkait hubungan warkop dan laboratorium dalam konteks jaman now, bisa jadi Lakuttu adalah seorang di antara mereka yang bersyik-masyuk di warkop, bekerja mendikte kerja para ahli di meja-meja laboratorium, atau bekerja mengendalikan opini publik dan cendikia. Wallahu A’lam.
Manding, 15 Agustus 2021.