Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian 6 dari 10 tulisan)
Situs Budaya dan Komunitas Adat di Bawah Tekanan Korporasi
Situs budaya -baik berupa artefak, lanskap, maupun ruang ritual- menjadi sangat rentan dalam situasi ekspansi industri. Banyak situs tidak tercatat secara resmi, tetapi hidup dalam ingatan dan praktik masyarakat. Ketika situs-situs ini rusak atau hilang, dokumentasi semata tidak cukup untuk menggantikan maknanya.
Lebih serius lagi adalah posisi komunitas adat yang sering kali tidak diakui secara hukum. Tanpa pengakuan wilayah adat, komunitas kehilangan dasar untuk mempertahankan ruang hidupnya. Dalam situasi ini, pelestarian kebudayaan tanpa perlindungan hak adat menjadi ilusi kebijakan.
Situasi Sulawesi Barat hari-hari ini dalam konteks kebudayaan seharusnya menemukan kaca benggala ketika ramai lalu-lalang para broker dan komprador mengintimidasi pemerhati budaya di Kalumpang, ini titik krusial, dalam peta kebudayaan Mandar dan Sulawesi Barat.
Wilayah ini bukan sekadar ruang geografis pedalaman, melainkan lanskap budaya yang menyimpan jejak Austronesia yang masih lengkap, pengetahuan ekologis, dan praktik adat yang menjadi bagian penting dari mosaik kebudayaan Mandar.
Namun justru karena kekayaan tersebut, Kalumpang menghadapi ancaman serius akibat ekspansi industri ekstraktif yang memandang wilayah ini semata sebagai cadangan sumber daya alam, bukan sebagai ruang hidup kebudayaan.
Tekanan terhadap Kalumpang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga epistemik dan politik. Pengetahuan lokal masyarakat adat Kalumpang tentang hutan, sungai, dan tata ruang adat kerap diabaikan dalam proses perizinan dan perencanaan pembangunan.
Peta adat tidak diakui, ingatan kolektif tidak dianggap sebagai data sah, dan keberadaan komunitas adat diposisikan sebagai hambatan bagi investasi. Dalam situasi ini, kebudayaan Kalumpang direduksi menjadi narasi pinggiran, sementara keputusan strategis ditentukan oleh logika pasar dan kepentingan korporasi.
Lebih jauh, ancaman terhadap Kalumpang menunjukkan kegagalan kebijakan kebudayaan yang terpisah dari perlindungan ruang hidup dan hak adat. Pelestarian kebudayaan yang hanya berhenti pada dokumentasi, festival, atau penetapan simbolik tidak akan mampu menjawab kerusakan lanskap budaya yang sedang dan akan berlangsung.
Ketika ruang ritual hilang, maka yang hilang bukan hanya situs fisik, tetapi juga sistem pengetahuan, relasi sosial, dan kesinambungan mosaik kebudayaan Mandar.
Dalam konteks ini, Kalumpang harus dibaca sebagai peringatan keras bagi arah pembangunan Sulawesi Barat. Jika wilayah yang menyimpan lapisan sejarah dan kebudayaan sedalam dan setua Kalumpang dapat dikorbankan demi kepentingan ekstraktif, maka wacana pemajuan kebudayaan kehilangan pijakan moralnya.
Melindungi Kalumpang bukan sekadar soal menjaga satu wilayah adat, melainkan soal mempertahankan fondasi kebudayaan agar tidak runtuh di tengah arus pembangunan yang timpang dan tidak berkeadilan.
Dalam kondisi demikian, persoalan kebudayaan Mandar tidak lagi sekadar soal pelestarian artefak atau revitalisasi tradisi, melainkan menyangkut ketimpangan kuasa dalam penguasaan ruang dan pengetahuan. Pengetahuan lokal Mandar tentang laut, musim, tanah, dan tata ruang adat terus dipinggirkan oleh logika teknokratis pembangunan, sementara komunitas adat diposisikan sebagai penghambat investasi.
Akibatnya, kebudayaan Mandar berisiko direduksi menjadi simbol identitas seremonial, terlepas dari basis ekologis dan sosial yang menopangnya. Tanpa keberpihakan kebijakan yang melindungi situs budaya dan mengakui komunitas adat sebagai subjek hukum dan kebudayaan, pemajuan kebudayaan Mandar akan terus berjalan di atas paradoks: dirayakan dalam wacana, tetapi terdesak dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




