
DI balik tumpukan dokumen kebijakan yang tampak rapi, sampah di Polewali Mandar terus menumpuk. Perda dan Perbup telah disahkan, tetapi warga masih bertanya: ke mana arah pengelolaan sampah ini sebenarnya?
Ketika regulasi terlihat cantik di atas kertas, realita di lapangan justru menunjukkan wajah yang berbeda—minim partisipasi, koordinasi lemah, dan infrastruktur yang tertinggal. Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita punya aturan, tetapi apakah aturan itu bekerja?
Pengelolaan sampah di Kabupaten Polewali Mandar telah memiliki fondasi regulatif melalui Perda No. 4 Tahun 2018 dan Perbup No. 28 Tahun 2018. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa regulasi tersebut belum sepenuhnya menjawab kompleksitas persoalan.
Tantangan seperti minimnya partisipasi publik, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan keterbatasan sumber daya masih menjadi hambatan utama. Maka, reformasi kebijakan bukan hanya soal revisi dokumen hukum, tetapi juga soal harmonisasi pasal demi pasal dan perbaikan sistemik dalam siklus kebijakan publik.
Membedah Siklus Kebijakan: Formulasi, Implementasi, Evaluasi
• Formulasi: Mengacu pada Dunn (2017), formulasi kebijakan harus berbasis masalah yang terdefinisi jelas. Sayangnya, Perda No. 4/2018 belum memuat indikator kinerja yang terukur, seperti volume timbulan sampah atau tingkat daur ulang. Bardach (dalam Kist & Bellen, 2022) menekankan pentingnya analisis alternatif kebijakan dan penetapan kriteria evaluatif sejak tahap awal.
• Implementasi: Van Meter & Van Horn (1975) menyoroti bahwa keberhasilan implementasi bergantung pada standar operasional, komunikasi lintas institusi, dan ketersediaan sumber daya. Di Polewali Mandar, belum ada SOP terpadu antar-OPD, dan koordinasi dengan sektor swasta masih sporadis.
• Evaluasi: Denhardt & Denhardt (2007) dalam kerangka New Public Service menekankan partisipasi publik dan akuntabilitas. Namun, mekanisme evaluasi terbuka dan pelibatan warga belum menjadi bagian dari siklus kebijakan di daerah ini.
Harmonisasi Regulasi: Inkonsistensi Pasal dan Kebutuhan Sinkronisasi
Analisis terhadap Perda dan Perbup menunjukkan disharmoni substansial:
• Pasal definisi dan ruang lingkup: Tidak sinkron dengan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terutama dalam klasifikasi sampah dan tanggung jawab aktor.
• Pasal indikator kinerja: Tidak ada pasal yang menetapkan target kuantitatif seperti pengurangan timbulan sampah atau peningkatan TPS-3R.
• Pasal partisipasi publik: Perbup menyebut edukasi masyarakat, tetapi tidak menetapkan mekanisme formal seperti forum warga atau evaluasi terbuka.
Purba & Erliyana (2020) dan Ahmed & Ali (2006) menekankan pentingnya integrasi hukum dan kemitraan publik-swasta dalam reformasi kebijakan lingkungan. Maskun et al. (2023) bahkan menyerukan reformulasi norma hukum yang progresif untuk pengelolaan limbah plastik.
Rekomendasi Terukur: Indikator, Timeline, Penanggung Jawab
Berdasarkan temuan hambatan di lapangan dan kerangka analisis siklus kebijakan, berikut lima rekomendasi operasional strategis beserta indikator, timeline, dan penanggung jawabnya:
Pertama, Pemerintah Daerah perlu melakukan reformulasi terhadap Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 dan Peraturan Bupati Nomor 28 Tahun 2018 agar lebih adaptif terhadap kondisi lokal. Revisi regulasi ini harus memuat indikator kinerja yang terukur, seperti persentase pengurangan timbulan sampah, jumlah TPS-3R aktif, dan tingkat partisipasi masyarakat. Targetnya, regulasi baru harus disahkan maksimal pada tahun kedua pelaksanaan reformasi, dengan proses yang diawali oleh kajian akademik dan konsultasi publik di tahun pertama, penyusunan dan pengesahan regulasi di tahun kedua, serta evaluasi awal implementasi di tahun ketiga. Penanggung jawab utama dalam proses ini adalah DPRD, Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), LSM lingkungan, dan Forum Warga.
Kedua, untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, perlu disusun Standar Operasional Prosedur (SOP) terpadu dan dibentuk tim lintas sektor yang melibatkan OPD teknis dan mitra swasta. SOP ini harus disahkan dalam enam bulan pertama, dan tim koordinasi harus aktif menyelenggarakan minimal empat rapat koordinasi setiap tahun. DLH sebagai koordinator perlu melibatkan Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, serta perusahaan pengangkut sampah sebagai mitra pelaksana. Langkah ini bertujuan mengatasi lemahnya sinergi antarinstansi yang selama ini menjadi hambatan implementasi kebijakan.
Ketiga, partisipasi publik harus diperkuat melalui pembentukan forum warga di setiap kecamatan dan penerapan mekanisme evaluasi kebijakan yang terbuka. Targetnya, minimal satu forum warga harus terbentuk di setiap kecamatan dalam tahun pertama, dan laporan evaluasi kebijakan harus dipublikasikan secara berkala setiap tahun. DLH bersama camat, lurah, Karang Taruna, dan komunitas bank sampah bertanggung jawab atas pelaksanaan program ini. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2007) yang menekankan pentingnya akuntabilitas dan keterlibatan masyarakat dalam siklus kebijakan.
Keempat, optimalisasi infrastruktur dan teknologi pengelolaan sampah perlu dilakukan melalui pembangunan TPS-3R, digitalisasi bank sampah, dan pengembangan aplikasi pelaporan berbasis masyarakat. Target kuantitatifnya adalah peningkatan jumlah TPS-3R aktif sebesar 30% dalam tiga tahun, serta integrasi sistem digital pada minimal 50% bank sampah yang ada. DLH bersama Dinas Komunikasi dan Informatika serta mitra teknologi dan komunitas bank sampah harus memimpin inisiatif ini. Langkah ini mendukung prinsip evidence-based policy dan efisiensi pelayanan publik sebagaimana disarankan oleh Koontz (2006) dan Osborne & Gaebler (1992).
Kelima, harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah harus menjadi prioritas untuk menghindari tumpang tindih aturan dan memperkuat peran daerah dalam pengelolaan sampah. Targetnya adalah agar minimal 80% pasal kunci dalam revisi Perda dan Perbup selaras dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan peraturan pemerintah terkait. Proses harmonisasi ini harus dimulai dengan identifikasi disharmoni regulasi pada tahun pertama, dilanjutkan dengan pembahasan dan sinkronisasi pada tahun kedua, serta implementasi hasil harmonisasi pada tahun ketiga. Penanggung jawab utama adalah Bagian Hukum Setda, DLH, dan kementerian/lembaga terkait.
Sebagai penguatan implementasi, Pemerintah Daerah juga perlu membangun sistem monitoring dan evaluasi berbasis web untuk mempublikasikan capaian indikator setiap triwulan. Selain itu, insentif bagi desa atau kelurahan berprestasi dan sanksi administratif bagi pelanggar harus diterapkan untuk mendorong kepatuhan. Kolaborasi multi-aktor yang melibatkan OPD teknis, sektor swasta, LSM, dan komunitas lokal harus menjadi prinsip utama dalam setiap tahapan reformasi.
Menuju Tata Kelola Sampah yang Adaptif dan Inklusif
Reformasi pengelolaan sampah di Polewali Mandar harus berangkat dari harmonisasi regulasi dan penguatan siklus kebijakan. Pendekatan Bardach (Eightfold Path) memberi kerangka analitis yang sistematis, sementara teori Dunn, Van Meter & Van Horn, serta Denhardt & Denhardt menjelaskan dimensi formulasi, implementasi, dan evaluasi secara komprehensif.
Dukungan dari literatur seperti Birkland (2019), Metcalfe (1994), Puppim de Oliveira (2019), dan Kist & Bellen (2022) memperkuat urgensi kolaborasi lintas sektor dan partisipasi publik.
Jika reformasi berbasis bukti dan sinkronisasi regulasi tidak segera dilakukan, maka pengelolaan sampah akan terus menjadi beban ekologis, sosial, dan politik yang tak kunjung selesai. Polewali Mandar bukan kekurangan potensi, melainkan keberanian untuk mengakui kegagalan dan membenahi tata kelola secara sistemik.
Regulasi yang cantik tak akan berarti jika realitanya terus buruk. Saatnya pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat lokal berhenti menunda dan mulai bertindak. Karena sampah bukan hanya soal kebersihan, tapi soal keadilan lingkungan dan masa depan generasi berikutnya.
ABD RAHMAN P Penulis adalah, Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan, Universitas Al Asyariah Mandar