ABDUL MUTTALIBFEATUREKOLOM

Nostalgia Tokoh

Tammalele: Puncak Bunyi adalah Diam

BAHAGIA rasanya ketika diajak komunitas One dO Art untuk mengenali tokoh dan nilai ketokohon para pelaku kesenian tradisi Sayang-sayang dan Kecapi Mandar di acara sarasehan bertema “Menyoal Transisi Musik Dawai Mandar,” pada gelaran “Mandar Dawai Etnik Festival, 20-21 Maret 2021.”

Gedung Al Madina Centre di Tinambung mendadak sesak menampung dokumentasi foto dan kesaksian sejarah dari penerus dan para tokoh: Marayama, Satuni, Kannai Toraya, A’ba Patima, Kamusa, Baharuddin, Suhaemi, M. Firdaus K, Tasim, Rustam, Syarifuddin, Halija, Suwuranna, Rusman Pikko, Dahalan, Nurhayati, dan Sakaria.

Daku seolah diajak menjadi saksi ketokohan para pelaku kesenian tradisi yang sudah diberi penghargaan atas jasa dan peran mereka. Penghargaan itu kian menajam ketika diapresiasi di acara sarasehan yang menghadirkan tiga narasumber mumpuni.

Adalah Dr. Arifin Manggau (Praktisi dan Akademisi Universitas Negeri Makassar) As’ad Sattari ( Ketua IGI Polewali Mandar) dan Sahabuddin Mahganna (Penulis dan Peneliti Musik Tradisi Mandar) yang didaulat menjadi narasumber dan mendapat respon beragam dari peserta sarasehan.

“Puncak bunyi itu adalah diam,” ujar Tammalele budayawan Mandar, sembari menunjuk ragam atribut foto dan profil diri para tokoh-palaku musik tradisi yang di tempel dihampir semua dinding gedung. Sejenak daku diam seribu bahasa.

Diamnya tokoh dalam foto para pelaku musik tradisi itu seoalah menggambarkan soal-soal yang belum mendapat jawaban dari stake holder, pelaku budaya dan pelaku musik moderen. Ketekunan, konsistensi, dan kemandirian serta spirit hidup mereka, kini hanya mampu didekati dengan cara mengingat, mengenang, dan merindukan dengan pendekatan noslagia.

Nostalgia menurut Stevlana Boym dalam bukunya The Future of Nostalgia, seperti yang dikutip Goenawan Muhammad, pada catatan pinggirnya di majalah tempo edisi 14 Februari 2016 yang seolah melawan gagasan moderen tentang waktu.

“Di dunia moderen, waktu adalah mesin hitung dalam gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah kemajuan,” tulis Goenawan. Nostalgia bukan bentuk pembangkangan, ia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri, membangun imaji masa lalu yang utuh, memukau dan menimbulkan rindu.

“Dalam nostalgia kita diam-diam meninggalkan kegandrungan terhadap “yang baru” tapi tidak berarti, membuat “yang lama” sebagai kuil tempat kita menutup diri,” seru Goenawan. Mungkin inilah bentuk keniscayaan waktu.

Waktu yang tidak melulu ditera, diukur, bahkan dikapitalisasi sebagaimana adab waktu moderen yang girang diarahakan hanya pada “hasil” dan melepaskan rangkain yang tak kalah penting yakni: “proses”.

Proses inilah yang mungkin dimaksud oleh para penggiat musik tradisi. Proses yang tidak menjadi etos yang mengharap sanjungan, pujian, bahkan mendamba penghargaan. Karena harga mereka, jauh-sebelumnya sudah ditentukan melampau ukuran materi di adab moderen.

Lalu, kini dan nanti, lagi-lagi hanyalah keniscayaan waktu. Waktu yang terasa tidak cukup merangkum sejarah hidup mereka secara utuh. Di sini, dan saat ini. [/*]

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: