
TENGGELANG dalam hitungan lima atau empat tahun terakhir dikenal dengan permata pancawarnanya. Permata yang menyita perhatian para pecinta mutiara dan atau batu mulia. Namun desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Luyo Kabupaten Polewali Mandar itu tidak hanya menawarkan permata pancawarna itu.
Tetapi lebih dari itu, desa yang berada tidak jauh dan situs Allamungan Batu di Luyo itu juga syarat dengan keindahan alam yang begitu menawan. Menawarkan panorama keindahan alamnya mulai dari sungai-sungai kecil yang melikuk dan pohon enau serta pohon coklat dan kopi yang menawarkan keteduhan perkampungan.
Juga penghuni desa yang begitu santun dan syarat dengan kekuatan penghayatannya atas Islam dan spritualitas yang dianutnya sebagai agama yang dominan menjadi anutan masyarakatnya. Ditambah dengan kesetiaannya memanggul mandat nilai-nilai seni budaya Mandar yang begitu pekat hadir dalam setiap perhelatan tingkat desa dan dusun.
Tak heran memang, karena desa yang agak tersuruk jauh dari keramaian itu, dipenuhi dengan sejumlah situs tinggalan leluhur. Bahkan peta sejarah peradaban Islam-pun dapat ditelurusuri dengan begitu jelas yang hingga kini manyisakan banyak tuturan lisan dari warga dan para tetua agama dan adat setempat.
Sabtu pagi, Tanggal 1 Januari 2022, penulis menyusuri desa itu bersama keluarga besar inti KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo ke desa itu. Apa pasal yang membuat kami bergerak menuju desa itu dengan mengendarai dua pete-pete (oplet-red), serta dua mini bus dan satu mobil pick up ke desa itu?
Bukan niat berplesiran, sebagaimana lazimnya liburan di akhir dan awal tahun. Tetapi, lebih dari itu, juga dimaksudkan untuk kembali meniti ulang jejak pertautan dan peradaban Islam Mandar yang juga tak lepas dari sentuhan tangan tulus pengabdian sosok Wali Allah KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo.
Selain itu, rombongan juga bermaksud untuk menggelar acara Mauid Nabi Muhammad Saw di masjid yang merupakan buah keringat ketulusan pengembangan Islam KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo. Sebuah Masjid yang terletak di dusun Barobaro Desa Tenggelang Kecamatan Luyo Polewali Mandar.
Alkisah, sebagaimana tuturan yang penulis dengar dari sejumlah warga, sebuah masjid kampung kecil yang hanya hitungan langkah kaki dari sungai yang meliuk di bawahnya itu dibangun oleh KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo yang juga merupakan kampung asal ibu kandungnya.
Sungguh dahsyat, tersebab begitu penulis bersama rombongan memasuki pekarangan masjid tua itu, di atas pintu gapura kecil tertulis Masjid Nurul Wathan. Sebuah masjid berarsitekkan sama dengan sejumlah masjid yang juga dibangun oleh Imam Lapeo semasa hidupnya.
Terasa asyik karena begitu penulis memasuki ruangan masjid itu, terasa langsung disergap oleh aura kedamaian. Angin berhembus begitu santun menimpa tubuh para pengunjung. Senyum warga yang telah menunggu rombongan di dalam mesjidpun tak kalah iklas dan damainya.
Serasa tidak ada beban yang menghimpit saat berada di dalam ruangan masjid yang ukurannya tidaklah begitu luas itu. Mungkin hanya seukuran musallah kecil yang dibangun oleh peradaban terakhir, namun setiap sudutnya seakan tengah berzikir dan bersalawat dan menembangkan kalimat-kalimat tayyib.
Masjid Tua Dibangun Imam Lapeo
Sejurus kemudian, acara maulid yang dipandu langsung Ustad Mas’ud Shaleh pun segera dimulai. Mulai dari Kepala Desa Tenggelang, Tokoh Adat Tenggelang, Annangguru Puang Ummi Nurlina Muhsin Thahir Imam Lapeo hingga dua cicit KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo juga tak pelak diberi kesempatan yang sama untuk mengungkapkan sejumlah hal dan ikhwal terkait niat kedatangan rombongan.
Manariknya, saat Ahmad Saehu, salah satu cicit KH Muhammad Thahir Imam Lapeo diberi kesempatan terakhir untuk berbicara, sejumlah cerita dan ungkapan keajaiban yang pernah dialaminya pun terungkap dalam nada yang santun pula datar. Sebuah kisah yang dituturkannya saat dirinya masih tercatat bekerja sebagai staf di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tubi Taramanu.
Dalam tuturannya, kisahnya bermula saat dirinya mengendarai kendaraan jenis Trail miliknya sepulang dari kantornya di Tubi Taramanu, saat dalam kecepatan tinggi ia memacu sepeda motornya melalu jalan warga yang kecil dan sempit namun cukup mulus karena telah dirabat beton. Anehnya, di atas Trail yang tengah melaju dalam kecepatan yang begitu tinggi itu, dirinya tidak bisa menguasai kendaraannya untuk berbelok ke arah jalan yang berada di sudut kanan jalan Masjid Nurul Wathan itu.
Jadilah motornya seakan seperti dikendalikan oleh seseorang dan dipaksa untuk masuk ke dalam pelataran Masjid Nurul Wathan itu. Bahkan masih menurutnya, kejadian itu terulang hingga empat kali saat ia melewati jalur jalan depan masjid itu. Bahkan suatu ketika menurut dia, dirinya yang juga dalam kecepatan tinggi, pernah menyenggol seorang warga di jalan dan berada tidak begitu jauh dari Masjid Nurul Wathan itu dan membuatnya nyaris terjatuh.
Dengan sigap ia berusaha menguasai laju sepeda motornya dan tetap berusaha untuk mencapai Masjid Nurul Wathan. Hendak singgah untuk menunggui orang yang disenggolnya. Namun hingga dirinya menyelesaikan rakaat shalat Asharnya, tak seorangpun warga yang mendatanginya di masjid itu, padahal sepeda motornya sengaja diparkir di jalan di depan masjid Nurul Wathan agar terlihat langsung oleh warga dan orang yang disenggolnya itu.
“Kisah saya empat kali shalat di Masjd ini, bagi saya itu amatlah aneh. Karena kali ini, sungguh kedatangan saya di Masjid Nurul Wathan ini adalah kedatangan saya kali yang kelima. Dan sungguh, sebelumnya tidak pernah saya tahu kalau masjid ini dibangun oleh KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo kakek kami. Hingga tadi, kami tiba di Masjid ini saya pun tidak tahu kalau masjid tempat saya empat kali singgah dan manunaikan shalat ini adalah masjid yang dibangun oleh KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo”, ungkapnya tetap dalam nada rendah membuat para jamaah di dalam masjid itu keheranan.
Usai penuturan Ahmad Saehu itu, rombongan kemudian melaksanakan shalat dzuhur berjamaah, setelah sebelumnya dihelat pembacaan shalawat maulid Rasul dan Barzanji dilaksanakan secara berjamaah dan menjadi awal dan pembuka acara maulid siang itu.
Usai semua prosesi di dalam masjid Nurul Wathan, rombongan kemudian bergeser untuk melakukan ziarah ke sejumlah makam yang merupakan keturunan Ibu Kandung KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo. Dan diakhiri dengan kunjungan ke atas puncak bukit Barobaro. Sebuah tempat yang berjarak tiga kilo meter dari Masjid Nurul Wathan dan berada di atas ketinggian Desa Tenggalang yang menurut tuturan warga merupakan tempat yang sering dikunjungi warga setempat untuk melakukan sejumlah ritual dan peribadatan.
Tempat yang diyakini merupakan tempat meraibnya Maradia Barobaro bersama sejumlah warganya. Menariknya, untuk sampai ke tempat itu, pengunjung termasuk penulis bersama rombongan harus menyeberangi sungai untuk sampai di lereng bukit itu dan lalu melakukan pendakian selama kurang lebih lima belas menit ke atas puncak gunung itu.
Catatan: Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Koran Harian Sulbar Expres, Edisi Senin, 03 Januari 2022 Halaman 1