KOLOMMS TAJUDDIN

Tahun Baru dan Tabiat Kebejatan Baru

BUTUHKAH manusia dengan tahun baru, jawaban dari pertanyaan semacam ini mungkin akan membenturkan kita kepada pertanyaan-pertanyaan yang akan kian bertubrukan di kepala kita. Bahwa betulkah kita butuhkan sebuah pertanyaan-pertanyaan ketika kehidupan dan fakta-fakta nyata penomena kehidupan yang saban hari kita semaikan hanya menghantarkan batu ke dalam kepala kita. Menjadikan bentuk-bentuk baru penyimbolan tubuh kemanusiaan kita adalah hewan-hewan yang berkepala batu.

Tesis ini mungkin agak ekstrim, tetapi inilah fakta nyata dari potret tercabiknya kita, yang tidak lagi bisa sejernih kaca benggala. Salah satu indikator yang dapat dijadikan tolok ukurnya adalah, kian mempetnya saluran dari kanal-kanal kemanusiaan kita, sehingga kehidupan yang kita eja adalah kehidupan yang terkelola dengan bau apek kemunduran dan penggelapan yang kwalitas dan kwantitasnya pun kian hari kian mengalami pembesaran dan pembekakan volumenya.

Dan inilah bukti nyata bahwa kita memang melulu mengantarkan batu ke dalam batok kepala kita melalui kanal-kanal yang konfiguratif dan berpendar-pendar tak karuan. Sebab batu tidak memiliki kesadaran kemanusiaan dan sensitifitas akaliah. Tidak ada hukum rasionalitas padanya atau analisis fsikoanalitis seperti yang pernah diaumkan oleh Sigmun Freud. Apalagi sensitivitas humaniora, sebab memang ia bukan manusia yang dapat mengorek-orek medium yin dan yan yang ada padanya untuk diseimbangkan dan dicarikan neraca balancing.

Syahdan, ketika kita mengorek sejarah perjalanan tapak-tapak kemanusiaan kita dihari-hari yang lalu. Maka bisa jadi korekan itu hanya akan menyulut kekecawaan baru kita. Dan kembali setiap tahun kita harus ikut merayakan kemunduran dengan tiupan sirine dan terompet dibaluti dengan gelayut kembang api diatas beranda malam hingga di ujung pagi.

Yah, sirine, terompet dan kembang api kegoblokan kita sebagai manusia yang hanya bisa menghamba kepada simbol-simbol, seraya merayakan tiap tahun proses perubahan kita menuju reinkarnasi kehewanan kita yang melata dalam kebutaan peradaban dengan tetap bersetia untuk memanggul batu diatas kepala kita.

Tetapi kali ini, mungkin ada bagusnya jika kita meletakkan tahun baru pada latar ideal sebagai proses mencoba memahami bahwa tahun baru bukanlah prosesi untuk menguak tabiat kebejatan baru sebagai manusia yang nir kesalehan sosial dan apatalagi kesalehan transendental. Yang ada adalah melulu mengantarkan batu ke dalam kepala kita. [/*]

CATATAN: Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat di https://lembagamammesa.wordpress.com pada 1 Januari 2013

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: