Pemimpin dan Orang Tua yang Telah Selesai
Pagi ke pagi / kuterjebak di dalam ambisi // seperti orang-orang berdasi yang gila materi // rasa bosan membukakan jalan / mencari peran // keluarlah dari zona nyaman//
BEGITU tembang zona nyaman yang dimainkan oleh fourtwnty yang menemaniku pagi ini. Ditemani teh hangat dengan sedikit gula buatan anak bapak kantin tetangga kantorku. Sedang bapaknya yang nyata tidak masuk dalam struktur pegawai di kantorku, tampak asyik menyapu teras kantorku yang lusuh dan kotor oleh serak sampah dedaunan.
Tak jauh dari bendera merah putih yang berkibar melamban oleh angin dalam kecepatan standar. Tanpa diminta apalagi diperintah untuk menyapu dan membersihkan. Selain keikhlasan dan ketulusan bertetangga, tak ada defenisi lain yang bisa diletakkan padanya. Dia orang tua yang baik hatinya dan tampaknya telah selesai berdamai dengan dirinya sendiri.
Ini mungkin catatan yang tidak penting, tidak seperti betapa pentingnya membincang soal kerja dan keseriusan untuk tetap fokus pada kebaikan. Bahkan amat sangat penting, kendati mungkin, peran kita hanya sekedar sekrup, baut atau gotri, sekalipun. Yang olehnya tanpa kerja seriusnya mesin peradaban tidak akan bergerak baik dan tentu saja akan buntu dan tidak lagi bergerak dalam dinamis.
Masih ditemani teh hangat dan bendera merah putih, aku lalu teringat pada sore jelang senja di Mekkatta Malunda, 17 Agustus 2019 lalu. Ya, diteras rumah seorang bapak yang saya kenal baik dan begitu santun pula cekatan serta begitu manusiawi dalam memperlakukan orang-orang tidak penting seperti saya. Saya percaya, bukan semata karena hubungan pekerjaan yang membuat bapak dan keluarganya itu berlaku baik atas diriku.
Demikianlah aku begitu terkaget-kaget tatkala tiba di rumahnya yang begitu amat sangat sederhana, tidak seperti yang ada dalam benakku. Semula aku berpikir, rumahnya akan sedikit mewah, mengingat masa baktinya yang telah cukup lama menduduki kursi jabatan sebagai seorang kepala kantor lembaga skala provinsi yang tidak boleh dipandang remeh di daerah yang bekerja untuk kepemiluan.
Ya, tidak sebagaimana rumah para pejabat, yang biasanya jauh lebih lengkap dan lebih baik serta lebih terawat cantik pula mewah. Hanya rumah biasa saja, di pinggir pantai dengan sisa tanah di samping rumahnya yang disulap menjadi lapangan redi papan (badminton tradisional) sederhana untuk warga kampung disekitar rumahnya.
Dan kekagetan ini kian meneguh, tatkala Selasa, 03 September 2019 lalu pagi begitu tiba di kantor tempat saya menulis catatan ini ditemani lagu indah ini, aku mendadak menerima panggilan telepon dari bapak yang tepatnya adalah orang tua saya itu, soal rencana untuk mengunjungi salah satu rumah ahli waris penerima santunan.
Permintaan yang mengagetkan, tersebab ia meminta agar saya tidak memberitahukan rencana kehadirannya di rumah ahli waris penerima santunan itu. Tentu saja, dalam benak, saya lalu bertanya muasal apa ia tidak hendak diketahui akan rencana kedatangannya.
Ternyata sangat sepele, ia tidak ingin, ahli waris penerima santunan itu sibuk, repot dan mempersiapkan banyak hal terkait kedatangan ASN nomor wahid di lembaga tempat saya dan orang tua saya itu bekerja.
Ia ingin datang begitu saja menyerahkan santunan itu. Tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan yang berlebihan. Sarannya, dipastikan ahli waris penerima santunan itu ada di rumahnya saja sudahlah cukup. Dan benar saja begitu kami tiba, yang kami dapati adalah diskusi lepas tanpa jarak dan level. Ditemani pisang goreng dan parutan gula merah tentu saja juga kopi dan teh hangat.
Ya, layaknya pertemuan sesama pecinta kemanusiaan, yang dalam bahasa santun garing dan renyah tanpa pembatas sekat antara atasan dan bawahan. Tentu saja ditemani bulir air mata yang menetes dari pipi ahli waris penerima santunan itu, setelah ia banyak bercerita ihwal kematian anaknya yang berpulang dalam tugasnya sebagai salah satu staf penyelenggara pengawasan pemilu di kecamatan Alu agak ujung dan sedikit menjorok jauh ke pedalaman itu.
Darinya, saya lalu belajar banyak, bahwa untuk menjadi pemimpin sungguh sudah harus selesai. Selesai dengan dirinya dan tidak hanya sekedar sampiran kata-kata saja yang begitu enteng keluar dari mulut tanpa penghayatan dan pula nihil implementasi.
Ya, tanpa upaya untuk mensetting segala sesuatunya agar kelihatan mulia dan diagungkan, juga tanpa pretensi untuk bekerja sekedar untuk mencari nafkah dan kehebatan dimata dunia belaka. Tersebab yang jauh lebih penting dari sekedar bekerja, adalah memahami tugas penghambaan. Bukan bekerja hanya untuk menjadi pencari nafkah belaka, tetapi bagaimana menjadi hamba yang iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Hamba yang tujuan penciptaannya adalah untuk menghamba dan beribadah. Hamba yang tak dikenal di bumi tetapi amat terkenal di langit, sebagaimana hikayat orang orang alim.
Dan yah, masih ditemani lagu santai pula indah miliki fourtwnty, sepagi ini, saya juga kembali belajar kepada orang tua, sang bapak kantin samping kantorku itu. Ia yang menyapu tanpa pretensi gaji dan dasi serta semua ihwal yang berorientasi dunia dan kehidupan semu belaka.
Dan akhirnya sebelum catatan ini berakhir bersama tandasnya teh hangat, biarlah aku kembali membuntel banyak pelajaran dari banyak orang dan banyak pihak. Termasuk belajar untuk tekun dan fokus pula khusyuk mendengar lagu yang semoga juga ikut menggamit kesadaranku dan kesadaran kita bersama. Tentang makna kerja dan kebaikan dalam kehidupan ini. Entahlah.
Sembilu yang dulu / biarlah membiru / berkarya bersama hati // kita ini insan / bukan seekor sapi // tanamkan pesanku / agar tak keliru / bekerja bersama hati //