KOLOMMS TAJUDDIN

Puasa, Warung dan Hari Kartini

PUASA mungkin seperti puisi. Ia sama ada di jalan sunyi dan kesepian. Ia sama tak membutuhkan popularitas dan apalagi selebrasi. Puasa adalah rahasia antara hamba dan tuhannya.

Begitulah, puasa diperuntukkan bagi mereka yang beriman. Beriman sekali lagi, adalah urusan privat antara hamba dan Tuhannya. Begitu kira-kira pandangan dangkal yang ada di kepala Kaco.

Bagi Kaco, puasa seperti puisi, karena di dalam puisi juga ada hubungan privat antara penulis puisi atau penyair dengan puisi yang dilahirkannya.

Tidak ada orang di luar dirinya yang tahu bagaimana seorang penyair melahirkan puisi, karena yang tahu hanya penulisnya atau penyairnya saja. Peristiwa dan momentum apa saja yang melatari sebuah kelahiran sebuah puisi.

Sampai disini hemat Kaco, puisi adalah ruang sublim yang amat privat antara penyair dan karya yang dilahirkan. Pembaca atau orang lain boleh saja memberikan tafsiran atau pengertian kepada puisi, namun kenyataan paling absah, soal latar, soal suasana kebatinan yang memantik lahirnya sebuah karya puisi hanya diketahui oleh penulis puisi itu sendiri.

Akibat itulah, bagi Kaco yang memang bandel dan kadang kurang kerjaan bahkan sedikit bocor halus itu, dengan enteng memberikan tafsir bahwa puasa dan puisi adalah sama jika dilihat dari perpektif ruang yang sama-sama privat.

Namun kaco juga tidak bisa menjelaskan panjang lebar apa pula hubungan antara puasa, puisi, warung dan hari Kartini. Karena baginya warung adalah sebuah ruang yang kadang juga menjadi amat sangat privat bagi mereka yang masuk dengan diam-diam agar tak terbaca bagi orang lain kala bulan puasa.

Sedangkan hari Kartini yang kali ini, kebetulan dirayakan bertepatan dengan bulan ramadan bagi Kaco adalah, hari dimana banua tempat ia menjadi bagian bagi warga negara dijadikan momentum perayaan dengan semboyan yang amat terkenal, habis gelap terbitlah terang.

Sebuah semboyan yang merupakan buku dari kumpulan surat yang ditulis oleh Raden Adjeng Kartini yang dibukukan oleh J.H. Abendanon menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht dari kegelapan menuju terang dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1911.

Dan boleh jadi, karena itu pulalah, Kaco melihat ada keteririsan antara hari kartini dengan puasa. Setidakanya, bagi Kaco jadwal menahan dan berpuasa dilakukan disaat habis gelap atau sesaat setelah sebelum terbit terang. Kartini dan puasa sama berada dalam momentum waktu yang penandanya adalah, gelap dan terang.

Selebihnya, bagi Kaco, Kartini selain adalah nama pahlawan yang mengabadi dalam memori kolektif manusia nusantara, boleh jadi juga adalah salah satu nama warung yang ada di sekitar kita.

Warung yang serius dan konsisten membantu mereka yang berhalangan puasa karena udzur ataukah karena tengah berada dalam perjalanan alias musafir. Demikianlah, siang itu, Kaco menyelonong masuk dan ikut makan siang diam-diam, mungkin ia tengah menemani para musafir atau entahlah.


Catatan: Sebelumnya tulisan ini telah dimuat di Koran Cetak Harian Sulbar Express Edisi Senin, 25 April 2022

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: