GAGASANOPINI

Penghinaan Adalah Hasil Terjemahan Kita

AKHIR-akhir ini di Indonesia ramai pemboikotan brand asal Prancis, boikot ini sebagai bentuk protes kepada presiden Prancis yang telah melakukan dan membiarkan penistaan kepada ajaran islam. Setidaknya merasa dinistakan.

Ini sudah tradisi ketika suatu otoritas yang mempunyai atau terikat dengan perusahaan tertentu melakukan penistaan ke suatu kelompok atau golongan, kelompok yang dihina bakal memboikot produknya.

Baru-baru ini seorang kawan saya menghubungi saya lewat WhatsApp, ia meminta pandangan saya terkait karikatur Nabi yang dibuat oleh seorang seniman asal Prancis.

Dia bertanya, apa kamu melihat karikatur itu sebagai penghinaan atau bukan? Saya jawab, yah penghinaan itu tergantung interpretasi kita. Artinya karikatur itu bisa jadi penghinaan kalau kita mengnggap karikatur itu sebagai wajah Nabi sebaliknya kalau kita menganggap itu bukan wajah nabi, yah kita tidak akan menganggap itu sebagai penghinaan.

Ada orang marah ketika dikatai “anjing” ada juga yang meresponnya dengan biasa-biasa saja. Karena makna kata anjing beda-beda bagi tiap orang. Sebab keadaan itu netral, yang membuat baik atau buruk adalah persepsi kita sendiri.

Contoh lainnya, Nelson Mandela dinggap pahlawan oleh rakyatnya tapi bagi kolonialisme ia adalah pemberontak. Soekarno dianggap sebagai revolusioner bagi rakyat Indonesia, tapi dianggap pemberontak bagi Hindia Belanda. Jadi penghinaan adalah hasil terjemahan fikiran kita sendiri.

Terkait karikatur tadi, adakah bukti karikatur itu menyerupai wajah nabi? Tidak ada. Lantas kenapa marah?

Menurut Kang Hasan Idea, orang reaktif bertindak berdasarkan stimulus, ia akan sedih kalau ada yang membut ia sedih, ia akan marah kalau ada yang membuatnya marah. Tindakannya berdasarkan keadaan, ia bertindak seperti sampan tanpa kemudi, ia hanya ikut kemana arah arus laut.

Lawannya adalah proaktif, orang proaktif menyadari bahwa pilihan sikap itu banyak, kita marah berdasarkan pertimbangan bukan berdasarkan keadaan. Ketika ia menghadapi hal yang bisa membuatnya marah, Ia sadar bahwa marah bukanlah satu-satunya pilihan sikap, sehingga ia bisa memilih sikap lain.

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kasus karikatur ini ? Pertama kita chek dulu adakah hukum yang dilanggar, kalau ada kita proses hukum sesuai hukum yang berlaku. Karena kejadiannya di Prancis yah biarlah muslim yang urus.

Di Perancis diperbolehkan mengkritik agama, tapi menghina seseorang berdasarkan agamanya itu dilarang. Kalaupun kita tidak setuju dengan hukumnya, yah wajar, kita beda negara, perjalanan sejarah bangsa kita beda otomatis pandangan hidup bangsa kita juga beda.

Lagian memboikot brand asal Prancis juga Boomerang bagi kita, misalnya Danone, Di Indonesia, Donone punya belasan ribu karyawan, yang tentunya banyak yang muslim, kalau produknya diboikot, kasian pekerjanya, kan?

MUHAMMAD GUFRAN

Sarjana biasa-biasa yang kebetulan hobi menulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: