Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian 9 dari 10 tulisan)

Pemerintah Harus Berpihak: Kebudayaan sebagai Prioritas Strategis
Kebudayaan Mandar di Sulawesi Barat bukan sekadar warisan estetis atau objek pariwisata, ia merupakan sistem hidup, pengetahuan lokal, dan fondasi identitas kolektif masyarakat. Namun, dalam praktik pembangunan modern, kebudayaan sering berada di posisi subordinat, tersisih oleh logika ekonomi ekstraktif, homogenisasi ekonomi, dan tekanan pembangunan yang mengutamakan keuntungan finansial semata.
Posisi ini menempatkan kebudayaan dalam kondisi rentan, di mana simbol-simbol budaya tetap dirayakan-seperti perahu sande’ dan motif tenunan sekomandi- tetapi substansi dan praktiknya terus tergerus oleh proyek-proyek besar yang mengabaikan konteks sosial, ekologis, dan historis lokal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa simbol tidak cukup untuk menjaga kelangsungan budaya; perayaan ikon saja tidak mampu mempertahankan ruang hidup, pengetahuan lokal, dan keterkaitan sosial yang membentuk kebudayaan itu sendiri.
Dalam kerangka ini, keberpihakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan Pemerintah Kabupaten menjadi krusial. Berpihak berarti menempatkan kebudayaan sebagai prioritas strategis dalam pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya.
Hal ini menuntut keberanian politik untuk menggeser orientasi pembangunan yang semata-mata kuantitatif, menuju pembangunan yang menghargai nilai-nilai lokal, menjaga ruang hidup masyarakat adat, dan melindungi lanskap budaya.
Tanpa keberpihakan yang jelas, kebudayaan hanya menjadi dekorasi kebijakan atau alat legitimasi politik, sementara masyarakat dan pengetahuan lokal menghadapi marginalisasi.
Lebih jauh, keberpihakan pemerintah bukan sekadar retorika, tetapi harus diwujudkan dalam instrumen kebijakan, kelembagaan, dan anggaran. Konteks Sulawesi Barat saat ini menunjukkan bahwa tanpa keberpihakan pemerintah, kebudayaan Mandar menghadapi ancaman ganda: pertama, tekanan industri ekstraktif dan perkebunan monokultur yang mengikis lanskap budaya, ruang ritual, dan pengetahuan lokal; kedua, fragmentasi kelembagaan yang membuat kebijakan kebudayaan menjadi reaktif, sektoral, dan terisolasi dari pengambilan keputusan strategis.
Dalam kondisi demikian, keberpihakan pemerintah bukanlah pilihan normatif, tetapi prasyarat struktural untuk memastikan bahwa kebudayaan tetap hidup, relevan, dan berfungsi sebagai landasan pembangunan berkelanjutan.
Keberpihakan juga menuntut pergeseran paradigma dalam memahami kebudayaan. Kebudayaan tidak hanya sebagai objek estetis atau warisan sejarah yang perlu dipelihara -tidak cukup hanya dengan merayakan simbol perahu sande’ atau motif tenunan sekomandi- tetapi sebagai sistem nilai dan praktik sosial-ekologis yang memberikan arah, legitimasi, dan daya tawar bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan pada apa yang dipersepsikan sebagai pembangunan.
Pendekatan ini menekankan bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya, karena tanpa fondasi nilai dan pengetahuan lokal, proyek pembangunan berisiko menciptakan konflik sosial, kerusakan ekologi, dan homogenisasi ekonomi yang merusak identitas kolektif masyarakat Mandar.
Hal ini bukan sekadar teori idealis, sejarah empiris menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada kebudayaan selalu menimbulkan disfungsi sosial, konflik sumber daya, dan degradasi lanskap budaya. Sebagaimana yang terbukti berulang kali terjadi di banyak tempat di republik ini.
Dengan perspektif kritis ini, menjadi jelas bahwa kebudayaan bukan sekadar sektor pelengkap atau obyek administrasi, melainkan prioritas strategis yang menentukan arah pembangunan Sulawesi Barat.
Pemerintah yang berpihak bukan hanya mengamankan kelangsungan warisan budaya, tetapi juga menegaskan keberpihakan negara pada keadilan, kedaulatan komunitas lokal, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Hanya dengan keberpihakan yang nyata dan konsisten, kebudayaan Mandar dapat bergerak dari status simbolik menuju aksi nyata yang memperkuat identitas, kesejahteraan, dan keberlanjutan ekologi serta sosial budaya di Sulawesi Barat.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




