SORE itu Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, angin berhembus bak merayu, menyambut sesaat tiba disebuah perkampungan nelayan di Kelurahan Manding, Lingkungan Binanga Liu Kabupaten Polewali Mandar tepatnya. Sebuah perkampungan nelayan yang cukup terbilang dekat dengan kota Kabupaten dengan sebutan bumi Tipalayo.
Oleh: Sulhan Sammuane
Kampung nelayan ini pun sangat akrab dengan warga sekitar dengan sebutan kampung “biring bonde” yang dalam bahasa indonesia berarti kampung “pinggir pantai”.
Kedatangan saya di Kampung nelayan ini, bukan untuk sebuah penelitian tentang kehidupan nelayan disana. Namun menjalankan sebuah amanah dari para rekan, suadara dan sahabat dari kumpulan manusia-manusia pengejar syurga, yang mereka namakan Komunitas SEMBILAN (SEMangat BerbagI amaL sesamA insaN). Dalam kegiatan kali ini, untuk mencari warga Dhuafa penerima uluran tangan dari dermawan Komunitas Sembilan dengan sebutan #pejuangsedekah. Salah satunya adalah Nenek Madiana.
Wanita tua yang telah berumur 70 tahun, hidup tanpa anak berjuang bersama dengan suami tercita, Kakek Kamal (120). Mengais rezeki sebagai pembuat sapu lidi sejak 20 tahun silam, agar bisa tetap makan dan melanjutkan hidup.
Kondisinya pun terbilang cukup miris, pekerjaan sebagai pembuat sapu lidi dulunya adalah pekerjaan sang suami. Namun kini nenek Madiana lah yang melanjutkan, lantaran kakek Kamal sudah 5 tahun terakhir ini sering sakit-sakitan. Terlebih lagi, pendengaran dan penglihatan kakek Kamal sudah tidak normal akibat usia yang sudah tua.
Dengan sebuah alat pisau kecil, Nenek Madiana mengeluarkan lidi dari pelepah yang masih menyatu dengan daun kelapanya. Tangannya cukup terampil memilah-milah lidi satu persatu, pada jari telunjuknya nampak terbungkus kain yang cukup tebal tergulung. Katanya, agar saat lidi dilepas dari daunnya, tangannya tidak teriris dan terluka.
Sesekali Nenek Madiana berhenti, sekedar untuk meluruskan punggungnya yang terasa sakit, serta tengkuk yang terkadang nyeri sampai di kepala akibat terlalu lama duduk.
Lepas sejenak beberapa menit, nenek Madiana pun melanjutkan pekerjaannya. Tanpa rasa mengeluh, nenek Madiana harus terus bekerja tanpa rasa lelah, demi menyelesaikan 3 sampai 4 ikat sapu lidi yang dihargakan Rp2.000,- per ikat dalam tiap harinya.
Pekerjaan sebagai pembuat sapu lidi yang harganya tidak seberapa bila dibandingkan besarnya kebutuhan hidup dalam sehari, tidak mengendorkan semangat hidupnya, sebab hanya keahlian itu yang dia miliki. Namun yang terpenting adalah agar dapur nenek Madiana tetap mengepul, sebagai tanda kehidupan untuk bisa tetap bertahan dan melanjutkan sisa umurnya.
Modalnya hanya ikhtiar dan keyakinan kepada Sang Pencipta pemberi berkah. Dalam seminggu Nenek Madiana sanggup membuat 20 ikat sapu lidi. Seikat sapu lidi nenek Madiana dijualnya ke pengepul seharga Rp2.000 per ikatnya. Jadi dalam seminggu nenek Madiana mampu memperoleh penghasilan sebesar Rp40.000. dan jika ditotalkan sebulan maka harga sapu lidi milik nenek Madiana seharga Rp160.000.
Namun terkadang harapan tak berjalan mulus, hitungan keuntungan nenek Madiana dalam membuat sapu lidi selalu berbeda dengan kenyataan. Dalam sebulan, terkadang sapu lidinya hanya terjual 20 sampai 30 buah ikat saja. Itu karena tidak banyak warga yang terlalu membutuhkan sapu lidi buatan milik nenek Madiana.
Begitupun dengan bahan sapu lidi nenek Madiana. Menurutnya pelepah kelapa yg menjadi bahan bakunya untuk membuat sapu lidi, untuk saat ini sangat sulit. Telah banyak pohon kelapa yang ditebang disekitaran tempat tinggalnya. Akibat pembukaan lahan untuk pembangunan yang mengatas namakan perumahan atau akrab disebut dengan bangunan BTN . Sehingga nenek Madiana harus berjalan jauh ketempat baru lagi untuk mencari pelepah-pelepah kelapa agar bisa dijadikan seikat sapu lidi.
Jika sapu lidi nenek Madiana tidak habis terjual, maka dia akan berkeliling untuk menjajakan sapu lidinya kepada warga dengan berjalan kaki diseputaran tempat tinggalnya. Jika tidak seperti itu, maka nenek Madiana dan suaminya harus rela menahan rasa lapar.
Beruntung nenek Madiana, tetangga disekitaran rumahnya terbilang cukup baik. Mereka kerap memberinya beras untuk dimasak walau tanpa lauk, sekedar hanya untuk mengganjal perut sesaat.
“Terkadang tidak laku semua nak ini sapuku, jadi kalo begitumi biasa ada tetangga yang kasihan, terus saya dikasi beras. Maluki pergi minta-minta nak, karena tuhan kasiki tangan sama kaki untuk bekerja dan masih bisa. Walaupun keadaan sudah tua, tetapki bersyukur, karena masih dikasiki nafas untuk hidup sama Tuhan”, ucap nenek Madiana dengan logat khas bugisnya.
Meski banyak tetangga nenek Madiana yang menaruh iba dan memberi bantuan. Di dalam hati nenek Madiana merasa malu jika terus dibantu. Sehingga dia selalu berusaha untuk melariskan sapu lidinya, walau harga yang didapatnya tidak seberapa.
Dia juga mengakui, jika beberapa waktu yang lalu, dirinya terdaftar sebagai warga sasaran untuk bedah rumah dalam sebuah program pemerintah. Rumah yang dulunya berbentuk rumah panggung yang hampir roboh, kini berubah menjadi rumah semi permanen yang cukup layak ditinggali.
“Memang ada bantuan saya dapat, karena saya didaftar sama tetangga. Bantuannya ada juga dalam bentuk dana tunai yang saya terima tiap 3 bulan. Tapi saya tidak mau mengandalkan bantuan itu, tetap saya akan bekerja, karena maluki nak kalo selaluki berharap bantuan dari orang” tutur nenek Madiana sambil memeluk diakhir pembicaraan. (**)