KOLOMMS TAJUDDIN

Mandi Air Hujan

HUJAN adalah penomena dan gejala alam biasa, yang dalam matematika saintik dipahami sebagai siklus alamiah yang awalnya dari kuala, danau, perigi dan rawa-rawa juga sungai dan lautan yang ada dipermukaan bumi, menguap dan berubah menjadi awan. Awan kemudian menjadi embun dan embun ditimpa panas mencair dan jatuh dan berderai.

Hujan adalah kelabu bagi yang menjalani ritual malam mingguan. Hujan menjadi musabab utama yang menjadikan kaum rebahan terelelap dalam dekapan dingin. Hujan adalah karuniah dan berkah dari Tuhan kepada kita. Tuhan begitu telaten mengurusi kehidupan umat manusia. Setetes air tidak lepas dari kekuasaan Tuhan. Air jatuh di sehelai daun lalu masuk ke dalam tanah menghidupi tetumbuhan.

Begitu ekosistem alam bergerak, berotasi dan berdinamika bahkan berdialektika dalam pengaturanNya. Manusia abai dan hanya mampu menilai, mempelajari, menganalisis dan memetakannya dengan seperangkat pengetahuan yang juga dariNya.

Manusia, seperti saya, anda, kita, dan mereka adalah juga berada dalam kekuasannya, tetapi kita masih sering merasa hebat sendiri. Merasa, bahwa kita adalah makhluk yang berakal, karenanya memiliki kekuasaan atas segenap yang ada pada diri dan pada kehidupan kita.

Demikianlah, kita adalah makhluk yang sarat dengan segenap kekurangan dan ketidakberdayaan, tetapi juga masih begitu sering, merasa hebat sendiri. Kita lalu menjadi makhluk yang pengumpat, pencaci dan penilai seenak diri kita sendiri.

Hujan adalah kadar kebaikan Tuhan kepada manusia yang tak tak akan tertakar nilainya. Kita mungkin mampu menciptakan hujan dengan pengetahuan, tetapi kita tidak akan pernah mampu menciptakan diri kita sendiri. Sebagamana kita tidak pernah memiliki kesanggupan untuk mengada dan juga meniada. Karena kita sejatinya, ada tetapi juga tiada atau sebaliknya.

Sisanya, ayo mari mandi air hujan. Seraya belajar merasakan dan mendengar bahwa dalam derai hujan, alam tengah bertasbih memulikan penciptaNya. Semoga kita sukses belajar kepada hujan, tanpa harus melihatnya semata sebagai, bencana. Seperti longsor, banjir bandang dan bahkan kematian demi kematian, dan dengan alasan itu, kita kemudian kembali merasa memiliki kewenangan untuk mengumpat.


Catatan ini telah dimuat di Kolom Rinai Kata Koran Harian Sulbar Express

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: