PULUHAN gadis-gadis berjilbab tengah serius merafal shalawat di dalam ruangan permanen yang bercat hijau. Semuanya tampak khusyuk membaca kitab yang ada di tangannya. Seorang perempuan paruh baya tengah serius memandu mereka melagukan shalawatan sebagaimana yang tercatat dalam kitab yang ada ditangan mereka.
Ditempat lain yang bersisian dengan ruangan tempat puluhan santriwati membaca shalawat itu, tepatnya di rumah tinggal KH. Latif Busrah Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Assalafy Parappe sejumlah petinggi Nahdlatul Ulama (NU) dan Ansor tampak tengah berbincang serius.
Mulai dari Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) NU Sulbar Dinar Faisal, Perwakilan Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII) Sulbar Rusdin Razak, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Korwil Sulawesi Amran HB, Ketua Pengurus Cabang (PC) NU Polewali Mandar Arsyad, Ketua Pengurus Wilayah (PW) GP Ansor Sulbar Sudirman AZ bersama sejumlah kader NU dan tokoh-tokoh penting lainnya yang telah ikut pewarnai NU.
Dalam perbicangan serius yang juga dihadiri KH. Latif Busrah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sulawesi Barat, KH. Muhammad Syibli Sahabuddin serta Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Kajian dan Sumber Daya Manusia, Mas’ud Shaleh itu, sesekali pula terdengar tawa kala perbincangan menyinggung kelucuan gaya khas kaum nahdliyyin.
Tak heran memang, karena siang itu, selain perbicangan dihadiri dua kiai yakni, KH. Latif Busrah dan KH. Muhammad Syibli Sahabuddin yang keduanya kini menjadi sentral referensi keagamaan di Sulawesi Barat, tampak pula sekretaris jendral GP Ansor Abdul Rahman atau yang karib disapa Gus Adung yang memang secara khusus terbang dari Jakarta melalui Makassar menuju Mandar.
Kehadiran Gus Adung itu secara khusus dimaksudkan untuk menghadiri acara Tasyakuran HUT RI Ke-72 yang dirangkaikan dengan pembukaan Pendidikan Kader Dasar (PKD) dan Kursus Banser Lanjutan (Susbalan) yang dilaksanakan Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Polewali Mandar.
Yang menarik dari acara pembukaan PKD GP Ansor dan Susbalan Banser yang digelar 10 Agutus lalu itu, itu selain diwarnai dengan nuansa tradisi seperti pengalungan sarung sutera Mandar terhadap tamu-tamu penting, dua kuda pattudu (kuda menari) pun dinaiki dua tamu penting diarak menuju area acara dalam komplek Ponpes Assalafy Parappe itu.
Bahkan gemuruh suara tepukan perkusi terbangan dari para pemain hadrah shalawat ikut menjadi warna penting ditambah performance seniman penting Sulawesi Barat, Sahabuddin Mahganna saat menjadi dirigen (pemandu) sejumlah lagu. Mulai dari Indonesia Raya, Mars NU, Ansor dan Banser membuat semua hadiri terdecak dan tanpa komando, menggemuruhkan tepukan tangannya yang begitu riuh.
Jadi Rongsokan
Selain kehadiran Gus Adung pada acara pembukaan yang banyak menguraikan tentang pentingnya Islam memosisikan dirinya sebagai duta kemanusiaan bagi dunia, di hari kedua PKD Ansor dan Susbalan Benser itu, instruktur nasional GP Ansor pusat Aunullah Ala Habib atau yang karib disapa Gus Aun pun secara khusus hadir di tengah seratusan lebih kader Ansor dan Banser itu.
Dalam wawancara khusus dengan Seputar Sulbar sepulang dari perjalanan ziarahnya ke sejumlah makam waliyullah di Majene dan Polewali Mandar itu mengatakan, Mandar mesti bersyukur karena, memiliki harta karung yang begitu besar yang harus dikenali oleh generasi muda Mandar sendiri.
“Bicara Mandar, bagi saya memiliki harta karung yang begitu besar yang generasi muda Mandar harus mengenalinya bahwa mereka itu memilikinya sebagai kekayaan yang tiada taranya. Harta karung yang besar itu adalah, ulama-ulama dan karomahnya yang mana ada banyak orang-orang alim dan manusia pilihan yang dimakamkan di Mandar ini,” tuturnya dalam nada rendah dengan tatapan dibalik kacamatanya yang mengisyaratkan semangat kesantunan.
Gus Aun yang juga merupakan ketua yayasan salah satu Ponpes di Boyolali ini berharap pemuda ebih banyak melakukan pelacakan dan berguru banyak kepada masa lalau tradisi spritual dan keagamaan di Mandar.
“Kekayaan orang-orang solihin (saleh) itu saya yakin jazadnya saja yang meninggal tetapi ruhnya tetap ada dan menyimpan energi yang begitu besar. Makanya pemuda Mandar harus senantiasa belajar dari orang-orang terdahulunya. Baik pitu prosesnya, baik caranya mereka bermasyarakat, caranya mereka berdakwah. Termasuk caranya mereka menginternalisasi dirinya dalam masyarakat sehingga bisa menjad panutan, suri tauladan dan figur yang tidak lekang dimakan jaman,” ungkapnya.
Ia mengatakan salah satu jalan untuk mengenal Tuhan itu adalah mengenal diri sendiri. Dan untuk mengenal diri sendiri itu, manusia penting mengenal sejarahnya dan masa lalu tempatnya berpijak.
“Ini harus dijaga. Dari pada kita belajar sama orang lain, tetapi kita tidak mengenal tokoh-tokoh kita sendiri. Kan, kacau. Padahal untuk mengenal diri sendiri itu menurut saya penting, karena orang yang tidak mengenal dirinya sendiri itu akan sulit mengenal Allah. Dan menurut saya, yang pertama adalah kita harus mengenal sejarah kita dan tokoh-tokoh kita sendiri. Dari siapa kakek-kakek kita, orang-orang tua kita. Siapa ulama kita dan siapa gurunya, itu termasuk proses pengenalan diri buat saya,” ujarnya usai shalat isya di rumah Ustad Busrah yang juga ketua GP Ansor Polewali Mandar itu.
Lanjut Gus Aun, Mandar memiliki potensi yang luar biasa dan penting untuk dikenali oleh generasi muda agar diketahui persis musabab yang mengantarkan manusia kepada kenyataan kehidupannya hari ini.
“Maka disini itu ada potensi spritual yang luar biasa. Banyak sekali yang harus dikenali oleh generasi kita. Yang paling utama, silahkan mengenal ilmu hikmah terhadap guru-guru yang akan mendorong anda untuk mengenal sosok-sosok ulama itu. Belajar kepada ahlul ilmi yang akan mendorong kita mengenal bagaimana ulama-ulama kita dulu membawa islam di Mandar kita. Sehingga seperti sekarang ini, seperti kota santri. Orang-orangnya beretika, orang-orangnya beradat dan lain sebagainya,” bebernya.
Lebih jauh dikatakannya, karena ada banyak figur masa lalu yang mengajari manusia hari ini, “dan masa depan adalah kita yang harus berperan disitu. Apakah kita akan sekedar menjadi rongsokan. Ataukah kita akan menjadi emas yang dikenal anak-anak cucu kita kelak. Kita belajar untuk anak-anak cucu kita. Saya kira itu.”
Tentang peran negara dan pemerintah, ia meminta pemerintah ikut terlibat serius dalam menjadikan para alim ulama dan orang-orang saleh dulu itu sebagai figur, “sebagai figur yang dikenalkan kepada anak-anak sekarang. Itu upayanya pemerintah.”
Dikatakannya pula, untuk memperkenalkan kepada generasi muda itu tidak harus melalui kurikum dalam pendidikan, tetapi bisa dengan berbagai jalan.
“Tidak harus menginsert ke dalam kurikulum, tetapi bisa dengan agenda-agenda yang lain. Misalnya mengadakan acara-acara atau mengenalkan anak-anak dengan tokoh-tokoh yang ikut mewarnai tanah ini sehingga para alim ulama, waliyullah dan orang-orang tua yang dalam ilmunya dulu itu, kini bisa dijadikan panutan dalam membangun kesadaran kita bermasyarakat dan bernegara. Mengenalkan Imam Lapeo, mengenalkan Prof. DR. KH. Sahabuddin. Supaya mucul rasa percaya diri dalam dirinya, bahwa orang mandar itu bisa. Itu tugasnya pemerintah untuk mendidik dan mengenalkan, bukan hanya tugasnya kita. Itu tugas pemerintah.”
Sebab bagi Gus Aun tidak benar menjadikan orang-orang luar sebagai figur, sementara orang Mandar sendiri memiliki bayak figur yang merupakan energi bagi upaya membangun peradaban tanah Mandar di kekinian. “Siapa yang akan dijadikan figur, kalau bukan para kiai dan para waliyullah itu yang kita kenali dan kita jadikan figur lalu siapa lagi?”