“Apakah kau takut jika aku hanya mampu memberikanmu daun kelor, sebagai lauk paukmu pada makan siangmu? Sehingga kau tidak mau bersedia menikah denganku? Kalau memang begitu, kau telah menghianati Tuhan. Kau terlalu takut dan ragu padaku tidak bisa mencukupi kebutuhanmu,” sorot matanya tajam menatap perempuan yang tertunduk di sampingnya.
Awan mendung. Sebentar lagi hujan menyerbu tanah, pepohonan dan semua makhluk yang kehausan. Sepertinya hujan turun tinggal menunggu perempuan itu memberikan klarifikasi pada kekasihnya. Tentang suatu kenyataan yang bergumul di hatinya.
“Apakah kau takut aku tidak akan bisa memenuhi mahar yang kau minta? Ketahuilah jika kau benar mencintaiku dan tulus mencintaiku. Tentu kau tidak akan meminta mahar yang muluk-muluk.” Perempuan itu masih bergeming tanpa kata-kata. Meremas jemarinya. Ia tiba-tiba mengeluarkan air mata lalu mengalir di pipinya. Diusapnya dengan jemarinya yang mulus.
Angin berhembus kencang, badai ringan menerjang. Terdengar ranting-ranting pohon bertegur sapa satu dengan lainnya karena terpaan angin. Rambut panjangnya diurai begitu saja digerakkan angin dengan lembut namun nakal. Angin mendesah padanya untuk segera mungkin ia menjelaskan. Tentang suatu kenyataan yang bergumul di hatinya.
“Apakah ada laki-laki lain yang kau sembunyikan di bilik hatimu, hingga kau enggan menikah denganku? Kalau memang seperti itu kau benar-benar terkutuk. Dan cintaku ternyata salah arah.” Perempuan itu memandang kekasihnya dengan tatapan tajam. Sorot matanya menggambarkan satu dosa besar yang ia sembunyikan pada Tuhan dan juga pada kekasihnya.
Lama mereka bersitatap. Matanya dan mata kekasihnya beradu. Tak peduli lagi hujan akan segera datang, angin makin ganas. Untungnya tak ada sepasang mata yang menyaksikan mereka. Jika saja ada sudah tentu desas-desus akan berhembus kencang seperti angin yang menerbangkan daun-daun kering yang rapuh. Tentang mereka yang sedang mesum di bawah pohon berbatang besar. Ketika hujan segera turun dan angin berhembus kencang.
Kekasihnya menunggu apa yang hendak perempuan itu katakan. Namun ia hanya memberi tatapan tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya yang manis. Seolah-olah tatapan itu ada satu kesimpulan besar tentang suatu kenyataan yang bergumul di hatinya.
“Dengarkan sekali lagi! Apakah ada laki-laki lain yang kau sembunyikan di bilik hatimu? Hingga kau dan dia pernah bersama dalam satu selimut. Tidak! Tidak aku menuduhmu yang tidak-tidak. Hanya saja tidak kuingin kau membenarkan kalimatku tadi. Tidakkah kau tahu tentang aku yang mencintaimu. Betapa akan sedihnya aku jika kau tidak salahkan pertanyaanku tadi.”
Jauh-jauh hari ke belakang, di tempat inilah mereka pernah bersua. Di bawah pohon berbatang besar sebuah janji telah mereka sepakati. Tentang mereka yang akan selalu menjaga cinta. Hingga Tuhan mengamanatkan Izrail untuk menceraikan cinta mereka dengan kematian. Ya, hanya persoalan mautlah yang pantas menghancurkan bulatan cinta yang mereka pelihara. Dan itu yang mereka yakini
“Aku mau menikah denganmu, sehidup denganmu kalau bisa aku pun ingin mati bersamamu,” tutur perempuan itu pada kekasihnya disuatu waktu di bawah pohong berbatang besar itu.
“Aku bilang, tidak akan ada satu kekuatan diluar kekuatan Sang Maha Kuasa yang akan menghalangi cinta kita. Karena kurasa akulah tulang rusukmu. Di zaman azali akulah perempuan yang Tuhan hadiahkan padamu. Aku jodohmu, aku rezekimu, aku kematianmu. Dan kau adalah lelakiku yang pernah malaikat bisikkan ke telingaku. Kau tahu malaikat tidak akan pernah berbohong, apa lagi mau menghianati Tuhan.”
“Tapi…”
“Tapi kau adalah laki-laki yang iblis tidak sukai. Bukti bencinya iblis padamu. Ketika dia membawamu datang kepelukanku. Liciknya iblis aku dijadikan alat untuk membuat imanmu berserakan, terpental, dan terhempas pergi. Hingga enam rukun imanmu kau abaikan. Lima rukun agamamu tidak kau jaga. Semuanya kau gadai hanya karena sesuatu yang manusia katakan itu cinta. Aku cantik dan mempesona itu yang membuatmu tak mau melepaskan diri dari pelukanku.”
“Karena iblis yang terkutuk telah terlanjur membawamu datang padaku. Takkan kubiarkan lagi mereka menculikmu lalu membawamu menyelinap pada selimut perempuan lain. Kita akan bersama-sama, saling menuntun ke jalan Tuhan untuk kehidupan abadi yang sudah menanti pada dimensi yang berbeda.”
“Tapi…”
“Tapi sekiranya kau sudah tahu kita adalah manusia. Makhluk yang lemah seringkali kita kalah melawan bujukan iblis. Kuberitahu kau sekarang, lebih dekat lagi padaku!” Kekasihnya merapat pada perempuan itu hingga kedua wajahnya bersentuhan. Perempuan itu berbisik pada kekasihnya.
“Ketika tiba suatu hari nanti, saat mulutku kaku tak bisa berbicara. Saat sorot mataku tajam menatap padamu dengan air mata yang mengalir di kedua pipiku. Saat awan akan segera mendatangkan hujan membasahi tanah yang menganga kehausan. Saat angin mulai nakal, tidak hanya menggoda pepohonan untuk ikut menari, tapi juga ia mau membuatku telanjang di hadapanmu. Maka saat itulah giliranku yang dibawa iblis. Entah dia menyembunyikanku pada laki-laki mana lagi.” Perempuan itu melepas bisikannya pada kekasihnya.
“Tenanglah! Semua tidak akan terjadi jika secepat mungkin kau mengikatku dengan pernikahan. Iblis tidak cukup punya nyali untuk menggoda dua hati yang telah melebur menjadi satu. Dua hati yang telah dijaga dengan cinta-Nya,” ucap perempuan itu sembari menyandarkan kepalanya pada bahu kekasihnya. Tangan mereka menyatu. Pohon berbatang besar menjadi saksi tentang mereka yang tidak berbuat mesum di pangkuannya.
Saat mereka kembali bersua di tempat ini. Tiba saatnya kekasihnya untuk mengajaknya menikah. Namun perempuan itu bergeming tanpa suara. Kekasihnya menyadari itu. Sehingga ia bertanya padanya, apakah ada laki-laki yang kau sembunyikan di bilik hatimu? Raut wajahnya cemas. Apakah ini pertanda tentang dia yang telah dibawa iblis pada laki-laki lain? seperti ia dahulu dibawa iblis dalam pelukan perempuan itu?
Kembali perempuan itu menyeka air matanya yang sedari tadi tumpah dari sarangnya. Jemarinya lembap karena air mata. Ia menarik nafas dengan mata ia pejamkan. Semampu mungkin ia mengusir perasaan takutnya untuk mengatakan kebenaran sekalipun pahit dan menyakitkan. Karena ia teramat cinta dengan kekasihnya semua ia harus utarakan.
“Apakah kau masih ingat dengan perkataanku di tempat ini kala itu?” Tanya perempuan itu datar tak lagi menatap wajah kekasihnya. Ia mengosongkan pandangannya. Tak ingin ia saksikan raut wajah kekasihnya bagaimana setelah mendengar pernyataan yang akan ia sampaikan.
Kekasihnya mengangguk. Meraih tangan perempuan itu. Jemari keduanya saling berpeluk. Bahkan ia sempat mencium jemari perempuan itu sebelum melanjutkan ucapannya.
“Kita sudah terlambat. Ajakanmu padaku untuk menikah. Ibarat mengharapkan pelangi di malam hari. Memang benar pesan Tuhan dalam kitab suci-Nya selamanya iblis akan menggoda manusia. Hingga sampai hari penghabisan nanti. Entah itu dari samping, belakang, depan atau pun dari atas. Aku sudah terlanjur mengatai iblis yang tak besar nyali. Ternyata aku salah. Buktinya aku sudah termakan bujuk rayu mereka. Aku terlena hingga terjatuh dalam pelukan laki-laki lain. Aku telah bercampur dengan laki-laki lain.”
Perempuan itu kembali menarik nafas panjang. Menatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Mendengar pernyataannya barusan. Kekasihnya sontak melepas tangan perempuan itu dari pegangannya. Jantung keduanya berdebar hebat. Kini perempuan itu yang memegang tangan kekasihnya. Dengan diiringi air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi.
“Apakah kau masih berkenan menikah denganku setelah kau tahu aku hamil, dan anak yang berada dalam kandunganku sama sekali bukan darah dagingmu? Apakah cintamu bakal terpental pergi setelah kau tahu kenyataan pahit ini? Kalau memang begitu maut bukan satu-satunya sesuatu yang bakal memisahkan kita. Tapi ada kenyataan lain selain daripada itu.”(**)
MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog