BERITAFEATURETERKINI

Lero, Peradaban Islam Mandar di Lasinrang

SUDAH sekian tahun diliputi rasa penasaran, akhirnya penulis bisa menjejakkan kaki pertama kali di Desa Lero di Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Seminggu yang lalu tepatnya.

Kampung Mandar di bumi Lasinrang yang mayoritas warganya bekerja sebagai nelayan. Kampung pesisir tersebut punya kemiripan dengan masyarakat pesisir Pambusuang di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Sungguh sebuah kesyukuran penulis bisa menapaki Desa Lero. Bersua panorama pantai yang indah, hidangan kuliner laut yang segar dan lezat, serta terasa sangat spesial sebab bisa menemukenali khazanah peradaban Islam Mandar yang masih sangat terjaga keguyubannya.

Desa Lero didiami oleh mayoritas masyarakat Mandar. Tak heran, disetiap rumah, disetiap kerumunan warga, kita akan menjumpai orang-orang berbahasa Mandar dengan dialek khas Pambusuang yang kental.

Berada di Desa Lero tak ubahnya berada di wilayah Balanipa Polewali Mandar bagian pesisir: Pambusuang, Bala, Sabang Subik dan Kappung Tulu. Suasana kampung nelayan padat penduduk dan nuansa kehidupan santri yang sungguh mengasyikkan.

Letak geografis Desa Lero cukup strategis karena berada diatas tanjung, berbatasan langsung dengan teluk pare-pare dan menghadap langsung ke selat Makassar. Jika berada di pantai Ujung Lero, akan jelas terlihat kerlap kerlip lampu keramain kota Pare-Pare di malam hari. Jaraknya hanya sekian kilometer.

Dua hari dua malam berkeliling di Desa Lero, penulis menjumpai kesibukan warga menyambut bulan rajab. Bulan dimana terjadi peristiwa sakral–Isra dan Mi’raj–perjalanan spiritual Baginda Rasulullah Muhammad SAW di malam hari, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga menuju ke Sidratul Muntaha untuk berjumpa Allah SWT.

Tausiah Bulan Rajab

Tak pelak, ratusan warga Lero berkumpul, bersarung, berkopiah hitam, ada juga yang mengenakan peci putih berlogo ormas Nahdlatul Ulama (NU), dengan sangat takzim mendengarkan hikmah keagungan peristiwa Isra Mi’raj yang disampaikan dua ulama bersaudara: Sayyid Ahmad Fadl Al Mahdaly dan Sayyid Ahmad Fauzi Al Mahdaly.

Keduanya berada di dua titik pengajian yang berbeda di dalam kampung. Masing-masing diminta untuk mengisi tausiah bulan rajab (mambaca miraja’) yang cukup banyak dihadiri warga.



Rumah yang ditempati kedua ulama asal Pambusuang Polewali Mandar tersebut adalah rumah panggung khas Mandar. Speaker atau pengeras suara terpasang menjangkau sekian rumah yang ada disekelilingnya.

Jamaah yang tidak mendapatkan tempat duduk, bisa dengan leluasa mendengarkan di kolong rumah dan teras rumah tetangga yang ada disekitarnya. Suara speaker sangat jelas terdengar. Begitulah pemandangan di kampung tersebut setiap memasuki bulan rajab.

Menurut Suaib, salah satu warga Desa Lero yang sempat penulis wawancarai, bahwa warga memanfaatkan betul kehadiran kedua putera Allahu Yarham Al-Habib Assayyid Djafar Thaha Al Mahdaly tersebut setiap kali berkunjung. Terlebih lagi bulan Maulid, suasana kampung akan lebih ramai lagi.

Keduanya terbilang cukup akrab-menyatu dengan warga Desa Lero. Pun juga saudara-saudaranya yang lain. Saat menyampaikan tausiah, acapkali diselingi guyon segar yang membuat warga tak kuasa menahan tawa.

Kisah Nabi, para sahabat dan jejak-jejak spritual para Wali penyebar Islam disampaikan dengan sangat apik, lewat penyampaian sederhana sehingga warga yang mendengarkan mudah menyelami hikmah yang terkandung didalam tausiah tersebut.



“Abah dulu lama jadi imam disini, sehingga kami sekeluarga sudah sangat akrab dengan warga, Lero itu sudah seperti kampung sendiri” kata Sayyid Thaha Al Mahdaly, putera sulung Sayyid Ahmad Fadl Al Mahdaly yang juga ikut datang menemani kedua orang tua, paman beserta adik-adiknya.

Masjid Peninggalan Puang Lero

Yang paling membuat penulis tertarik saat diajak beberapa sahabat ke Desa Lero adalah rasa penasaran tentang bangunan masjid Jami Al Muhajirin, peninggalan Allahu Yarham Al Habib Assayyid Hasan Bin Alwi Bin Sahl Jamalullael atau yang terkenal dengan nama Puang Lero.

Masjid yang konon bangunannya tidak dibuatkan penyangga dari besi. Hanya susunan batu merah, pasir, batu karang dan semen. Berdiri sekitaran tahun 60-an.



Masjid ini berdiri kokoh di tengah-tengah perkampungan warga yang padat. Menara masjid menjulang tinggi, dikelilingi rumah-rumah warga berhimpitan satu sama lain, namun cukup tertata rapi.

Masjid tersebut merupakan salah satu simbol peradaban Islam Ahlusunnah Waljamaah Annanhdliyah di Kabupaten Pinrang. Ornamen bangunannya yang khas, mirip masjid-masjid di timur tengah, dengan jumlah 30 kubah yang menjadi magnet wisata religi bagi siapa pun yang berkunjung ke Desa Lero.

Dalam catatan Tribun Timur yang diambil dari keterangan warga, 25 kubah merupakan jumlah nabi dan rasul yang wajib diketahui, dan 5 kubah lain yang mengelilingi masjid merupakan simbol rukun Islam.

Habib Hasan Puang Lero merupakan panrita sufi keturunan Nabi yang sangat dihormati. Nama beliau masyhur hingga ke Tanah Mandar sampai sekarang. Mahfum, beliau memang berasal dari Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Polewali Mandar, yang kemudian hijrah ke Desa Lero.



Habib Hasan Puang Lero merupakan putera dari Annanggurutta’ Al Habib Assayyid Alwi Bin Sahl Jamalullael. Ulama kharismatik yang merupakan guru dari Annanggurutta’ KH. Muhammad Thahir (Imam Lapeo). Makam beliau bisa diziarahi di kompleks Masjid Raya Campalagian di kampung Masigi Desa Bonde Kecamatan Campalagian Polewali Mandar.

Ajaran dan petuah Habib Hasan Puang Lero masih kerap kita dengar tatkala para Annangguru (Kyai)–terutama dari Pambusuang–menyampaikan pesan-pesan hikmah kepada umat. Makam beliau bisa dengan mudah kita ziarahi, karena tepat berada di belakang masjid Jami Al Muhajirin.

Kedekatan hati warga Ujung Lero dengan sesuatu yang berhubungan tentang Rasulullah SAW adalah berkat jasa-jasa besar Allahu Yarham Habib Hasan Puang Lero yang menjadi pelita dalam mendidik umat.

Karomah Puang Lero

Semasa hidup, beliau dikenal sebagai ulama yang bijak. Diceritakan Sayyid Ahmad Fadl Al Mahdaly saat membawakan tausiah Isra Mi’raj, bahwa pernah suatu ketika Habib Hasan Puang Lero dikirimi sejumlah ikan oleh seorang nelayan yang berada di luar kampung Lero. Nelayan Bugis yang juga sangat menghormati beliau.



“ikan-ikan itu oleh nelayan tadi dititipkan kepada almarhum Pua Rasna dan Kanne Abi (pemilik kapal) untuk disampaikan hajatnya ke Puang Lero. Kanne’ Abi dan Pua Rasna yang melihat bahwa ikan-ikan tersebut berukuran kecil, setibanya di dermaga kemudian menukarnya dengan ikan yang ukurannya lebih besar. Keduanya merasa tidak enak apabila harus mengantarkan ikan berukuran agak kecil ke Puang Lero,” kata Sayyid Fadl menceritakan.

Kemudian, setibanya Pua Rasna di Kediaman Habib Hasan Puang Lero, baru didepan pintu beliau langsung menegur Pua Rasna dengan ikan-ikan yang dibawa.

“Ee Pua Rasna, muwawangang boa’ mai ande makarro dee (ee Pua Rasna, kamu rupanya bawakan lagi saya makanan makruh ya),” kata Habib Puang Lero.



Seketika Pua Rasna terkejut mendengar perkataan beliau. Tak paham ikhwal kemakruhan ikan-ikan yang ia bawa.

“kalau ada yang menitipi kamu ikan meskipun kecil, ikan itu pula yang kamu antar kesini, jangan ditukar dengan ikan yang lebih besar, itu namanya tidak amanah. Saya tahu niat kalian baik, tapi niat orang disampaikan sebagaimana apa yang ia sampaikan dari awal. Tapi ya tidak apa-apa, lain kali jangan ulangi, sini itu ikan, nanti kita makan makruh saja, ” kata Habib Hasan Puang Lero dengan sangat bijak.

Mendengar penjelasan Habib Hasan Puang Lero, Pua Rasna menyerahkan ikan kemudian pamit, ia sangat merasa malu atas apa yang telah diperbuat. Menukar ikan-ikan tersebut. Padahal niatnya baik, mengganti ikan yang kecil dengan ikan yang lebih besar untuk diantarkan kepada Sang Habib. Satu minggu lebih Pua Rasna tak pernah keluar rumah, terus memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya.



Begitulah karomah Habib Puang Lero atau dengan nama lengkap Al Habib Assayyid Hasan Bin Alwi Bin Sahl Jamalullael dan segudang-keistimewaaan beliau yang lain yang tak bisa penulis goreskan satu persatu dalam catatan singkat ini.

Ajaran-ajaran beliau masih tersimpan rapi dalam sanubari warga Desa Lero dan terus diajarkan turun temurun dari generasi ke generasi.

Begitulah sekelumit catatan perjalanan singkat penulis selama dua hari dua malam di Desa Lero. Ada keseruan yang sebelumnya penulis tak pernah bayangkan. Sore hari mandi laut, malam harinya bareng sahabat mencari ikan dan kerang saat air laut sedang pasang. Dan, diwaktu-waktu tertentu menyelami kehidupan warganya yang ramah dan religius. Sungguh pengalaman hidup yang takkan terlupakan. [*]

Polewali, 23 Maret 2020

MUHAMMAD ARIF

Selain dikenal sebagai aktivis yang produktif menulis, dirinya kini tercatat sebagai pimpinan pengurus cabang Gerakan Pemuda Ansor Polewali Mandar

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: