
MARAH adalah puncak emosi yang tak terkelola dengan baik. Marah bisa berdampak buruk pada kesehatan dan berakibat fatal bahkan kematian. Bukan hanya pada fisik, marah tanpa kendali yang baik bisa merusak suasana batin. Fikiran menjadi kacau dan hati tak berarah.
Kemampuan mengelola marah adalah syarat menjadi seorang pemimpin. Penataan emosi secara baik dan terkendali adalah keharusan. Dia menjadi penting karena setiap saat kita menghadapi persoalan. Tidak semua yang terjadi dihadapan kita sesuai dengan yang kita inginkan.
Seorang pemimpin dalam dinamika politik ditantang untuk menghadapi pergulatan ide dan pemikiran. Pemimpin harus menampung dan mengkanalisasi jalur dinamika itu dengan baik. Soal lain dari luar, pemimpin akan menghadapi kelompok lain yang akan selalu melihat sisi lain.
Mereka mengintai dan mencari langkah langkah yang salah dan siap di olah menjadi kritik. Bahkan bisa sampai pada fitnah dan pembunuhan karakter. Dalam politik ini adalah dinamika yang harus kita lewati, pemimpin harus siap dengan semua konsekuensinya.
Kanne Baca, seorang ulama tersohor di tanah santri. Hidupnya sederhana walau seorang imam masjid. Kendati jauh dari kemewahan tapi Kanne Baca selalu tampak bahagia.
Dan dalam kesederhanaannya itupun, Kanne Baca juga tidak luput mendapatkan kritik dan bahkan menjadi bahan gunjingan dari kelompok yang berseberangan dengan sikapnya.
Sahdan, suatu ketika, Kanne Baca pernah berpesan kepada para santrinya;
“Jika suatu waktu engkau dituduh orang mencuri dan kau tidak melakukannya, janganlah marah. Sebab kau tidak mencuri. Jika suatu waktu engkau dituduh mencuri lantas kau memang mencuri, jangan pula kau marah. Sebab engkau memang mencuri”.
Santri bingung dan bertanya, “lalu kapan aku bisa marah guru?”
Kanne Baca menjawab, “marah dan tidak marah punya tempat yang sama dalam diri tergantung manusia mana yang harus diekspresikan”.
Inilah fatsun politik yang sederhana dalam mengelola emosi yang baik. Sebagai syarat utama menjadi seorang pemimpin.
Pambusuang 02-03-2021