Puasa Kaco, Cicci dan Korona
KACO meppalingutti manduru’i tumayung ra’bas dio di boco’na. Cicci sejak tengah malam tadi, tampak masih duduk bersimpuh di atas sajadah. Air matanya tumpah membasahi cipo’ yang juga dikenakan di lima kali bulan ramadan yang lampau.
Dalam do’a ia menangis, bukan soal cipo’ panno tambal yang Kaco tak kunjung mampu membelikannya. Tapi ini soal ramadan dalam kegundahan hati. Tak ada ziarah dan tak ada kepulangan tetangganya.
Kali ini ramadan dan korona adalah dua hal yang harus dijalani Kaco dan Cicci sebagai ketetapan kuasa pungallahu ta’ala.
Kaco bangun, Cicci menyeka air matanya, doa ramadan pertama tuntas sudah, sejurus kemudian Cicci berkelebat menuju lapurang dan menit berikutnya keduanya sama duduk di atas latte’ mambaca pa’doangan di depan doayu woyo’ dan bau mara’e. Belum tuntas doanya, adzan subuh berkumandang, keduanya hanya bisa menatap hidangan di atas kappar bermotifkan kembang kuning merah dan biru.
Puasa pertama genap sudah, tanpa sahur dan dengan ketakutan korona. Namun terasa indah dengan doa-doa menuju langit yang melebihi asap bau mara’e sore jelang magrib sebelumnya. [mst]