GAGASANOPINI

Lahan dan Kedaulatan Pangan

SATU pemberitaan media terupdate dan terkini Polewali, malam ini kembali menarik perhatian saya. Bukan soal berita penggerebekan waria oleh Satpol PP hingga mereka berteriak “tubleska ayah…!” Juga bukan soal pemberitaan rumah warga dan lapak pedagang pasar yang rusak diamuk hujan disertai lasoanging. Bukan!

Apa anda akan memaksa saya menerjemahkan lasoanging ke dalam bahasa Indonesia baku menurut KBBI? Please, jangan. Atau saya akan ikutan berteriak, ““tubleska ayah…!”

Kali ini, pemberitaan media ohline lokal tersebut, mengangkat berita yang lebih serius dan memiliki tingkat signifikansi sosial yang urgen. Bertanggal 27 Oktober 2017 berita itu diposting. Namun baru malam ini saya membacanya, setelah dishare kaka di grup whatsapp tidak pake broh. Lebih kurang, berita dari media yang judulnya selalu unik dan antimainstream tersebut, berbunyi: Target 20.000 Unit Rumah di Polman….! Pengusaha China Bakal Bangun Rumah Murah Anti Api & Gempa….

Menarik bukan? Lantas, apa urhensi dan signifihansi sosial yang saya mahsud? Tentu saja ini bisa jadi bersifat suhjehtif. Sebab, cara pandang orang memang berbeda-beha. Tentu akan ada yang ber-anghapan, bahwa, rencana investasi tersebut, jika benar jadi, adalah satu berkah pembangunan. Investornya dari Tiongkok loh ini! Sangat dapat menambah pundi-pundi kas daerah. Lumayan juga toh, ada pembukaan lapangan peherjaan bagi yu yu yu dan kitakita yang penganguyan. Kitakita? Yuyu aja kayie.

Tapi bagi saya, dan mungkin kawan-kawan yang setelah membaca ini akan mencoba mencari link berita Waria Teriak Tubles ka Ayah, bisa jadi tidak akan sependapat dengan anggapan di atas. Sebab, beberapa pengalaman mengajarkan, masyarakat tidak saja berpeluang mendapatkan berkah dari “pembangunan” yang dilakukan pemerintah maupun swasta, tetapi tak jarang terjadi adalah sebaliknya–masyarakat menjadi tumbal dari isme kapital yang mewujud dalam selubung pembangunan. Saya terima kalo anda berpikir, sok kihitis ini ohang! Bodoh aja tidak, apalagi ganteng.

Dalam konteks berita media di atas, yang menurutnya Pemkab Polman menyambut positif rencana investor tersebut, potensi yang menjadi korban dan besar kemungkinan mengalami kerugian adalah masyarakat petani. Coba rekengkan, 20.000 unit rumah yang konon anti api dan anti gempa ini, akan dibangun dimana jika tidak pada lahan pertanian? Di alun-alun? Enak aja yu, mau mengurangi keindahan estetika kota? Lalu dimana lagi para pemuda mihenial adu balap drag dan nongki-nongki g4ol?

Lagian, kalo boleh jujur, sebab sekarang memang sulit jujur, sudah banyak kok perumahan-perumahan KPR BTN Bersubsidi yang dibangun di daerah ini. Dan kebanyakan diantaranya menyasar lokasi persawahan atau lahan tani produktif lain. Anda berpikir saya mengada-ada? Ada-ada saja anda berpikir begitu! Kalau tak percaya, besok kita survey lokasi. Tapi yang tanggung makan siang, situ yah?!

Ada juga itu, yang baru ituh, rumah susun yang warna cat-nya engga banget. Orens ungu. Ih. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa sudah berfungsi? Jika boleh usul, maka lebih baik mengfungsikan yang telah ada, ketimbang kembali mengalihfungsikan lahan, apatah lagi lahan yang produktif. Lahan yang menjadi sumber penghidupan mayoritas masyarakat di daerah ini.

Kita juga belum tahu, sepenting apa sih rencana pembangunan perumahan tersebut? Berangkatkah dia dari kebutuhan orang yang membutuhkan? Sebab selama ini, cukup banyak perumahan KPR BTN bersubsidi yang hanya nganggur, atau hanya dikontrakkan oleh mereka yang sebenarnya sudah punya rumah, tiga malah rumahnya. Kasi ki satu kenapa?

Investasi modal asing dengan Iming-Iming perumahan murah itu jelas menggiurkan. Tapi lebih bijak jika perumahan yang telah ada, dimaksimalkan regulasinya. Tepat sasaran subsidinya. Diprioritaskan ke mereka yang memang butuh rumah, bukan butuh pacar. (Wish keren yah, ada masukannya juga, tidak sekedar kritik, mantap!)

Jadi, bapak yang diatas, lihatlah realitas. Sektor penghidupan masyarakat bapak itu mayoritas bergumul dengan tanah. Bertani. Yah kalau dikurang-kurangi terus lahannya kan kasihan. Cukup sarjana yang menganggur, Pak! Petani jangan! Kalau bapak yang di atas ngotot mengkebiri hajat hidup kami yang di bawah, maka dalam tempo 2×24 jam, kami akan mengumpulkan massa, dan berteriak di depan gedung bapak: “tubleska ayah…!”

MUHAMMAD SAHLAN

Bekerja sebagai penulis dan aktif dalam berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: