Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian 5 dari 10 tulisan)
Balai Pelestarian Kebudayaan: Mandat, Fungsi, dan Keterbatasan serta Relevansinya dengan Pemerintah Provinsi
Secara kelembagaan, BPK memiliki mandat utama dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan. Namun dalam praktik, kewenangan BPK sering kali terbatas pada aspek teknis dan administratif.
BPK tidak memiliki otoritas langsung dalam konflik lahan, perizinan tambang, atau kebijakan tata ruang yang justru sangat menentukan keberlangsungan ruang-ruang kebudayaan. Keterbatasan ini menyebabkan peran BPK sering bersifat reaktif, bekerja setelah terjadi kerusakan atau erosi budaya, bukan preventif dalam mencegah ancaman struktural terhadap kebudayaan.
Di tengah gencarnya upaya ekspansi industri ekstraktif di Sulawesi Barat yang kemungkinannya memberikan efek kejut di tahun 2028, pendekatan pelestarian kebudayaan yang bersifat statis -terbatas pada inventarisasi, penetapan, atau seremonial budaya- menjadi semakin tidak memadai.
Kondisi ini menuntut pergeseran paradigma pelestarian menuju pendekatan yang lebih dinamis, yaitu revitalisasi dan transformasi kebudayaan. Revitalisasi dimaknai sebagai upaya menghidupkan kembali praktik, nilai, dan institusi budaya dalam kehidupan masyarakat, sementara transformasi merujuk pada perubahan struktur sosial, ekonomi, dan kebijakan yang selama ini membuat kebudayaan menjadi rentan terhadap tekanan eksternal.
Tanpa dukungan kebijakan daerah yang kuat dan terintegrasi, BPK berisiko terjebak dalam sebuah paradoks kelembagaan. Hadir sebagai lembaga pelestarian kebudayaan, tetapi tidak memiliki daya tawar yang memadai ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan politik yang justru menggerus basis material, ruang hidup, dan pengetahuan lokal masyarakat pendukung kebudayaan.
Dalam situasi ini, pelestarian kebudayaan berpotensi direduksi menjadi kegiatan simbolik, terpisah dari persoalan struktural yang sesungguhnya mengancam keberlanjutan kebudayaan.
Oleh karena itu, penguatan peran BPK perlu ditempatkan dalam kerangka kebijakan lintas sektor, yang mengintegrasikan pelestarian kebudayaan dengan kebijakan tata ruang, lingkungan hidup, dan perlindungan masyarakat adat.
Dengan cara ini, BPK dapat berfungsi tidak hanya sebagai pelaksana teknis pelestarian, tetapi juga sebagai aktor strategis dalam menjaga keberlanjutan kebudayaan di tengah tekanan pembangunan ekstraktif.
Meskipun pada akhirnya, masa depan pelestarian kebudayaan tidak ditentukan semata oleh keberadaan institusi, melainkan oleh keberanian kebijakan di tingkat kepemimpinan daerah untuk menempatkan kebudayaan sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan.
Meskipun harapan agar Balai Pelestarian Kebudayaan mampu berfungsi sebagai aktor strategis lintas sektor ini dapat dinilai utopis, tetapi harapan tersebut justru menemukan relevansinya pada komitmen politik Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat dalam mengarahkan kebijakan pembangunan yang berkeadilan budaya.
Di tengah masifnya tekanan pembangunan ekstraktif, BPK hanya akan bermakna apabila didukung oleh kepemimpinan daerah yang mampu menjembatani sektor kebudayaan dengan tata ruang, lingkungan hidup, dan perlindungan masyarakat adat, sehingga negara benar-benar hadir untuk menjaga ruang hidup, pengetahuan lokal, dan keberlanjutan kebudayaan Sulawesi Barat. Dalam konteks ini, Mamuju sebagai ibukota provinsi menjadi strategis dalam rangka memperpendek jarak koordinasi lintas sektor.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




