Linor
LINOR dalam catatan tidak penting ini, bukanlah nama orang, tetapi ia adalah persamaan kata yang dalam bahasa Indonesia adalah gempa dan linor itulah yang baru saja terjadi. Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa dilakukan oleh manusia untuk melawan kehendak Tuhan yang dinyatakanNya melalui peristiwa dan gejala alam. Manusia hanya memiliki pengetahuan tentang gejala, dan cara keluar dari bencana yang dipahami sebagai akibat dari pergerakan bumi dan menciptakan gelombang seismik itu.
Benar saja, malam Jumat 15 Januari 2021 pada dini hari, gempa kembali terjadi dan membangunkan saya yang tengah tertidur pulas di dalam boco‘ (baca: kelambu). Terasa goyangannya membangunkanku, terdengar derik pallollor dan gala’gar seperti sikiu tertangkap oleh indera pendengaranku. Rumah panggung tua yang kami tempati terasa benar seperti perahu yang tengah berayun oleh buaian ombak di atas samudera.
Panik. Tentu saja iya, karena begitulah lazimnya manusia, begitu menyadari apa yang terjadi seketika secara repleks bergerak hendak mengetahui detail apa yang tengah terjadi. Anak bungsuku yang masih terlelap, seketika berpindah ke dalam gendongan peluk ibunya.
Sejurus kemudian, dari atas teras rumah panggung kayu tempatku, terdengar suara tetangga yang keluar rumahnya sudah mulai berisik, setelah memastikan bahwa yang terjadi adalah linor yang mengguncang dengan kekuatan yang dilaporkan oleh BMKG bermagnitudo 6,2 dan terjadi diwilayah Kabupaten Majene pada dini hari itu.
Pagi harinya, saat saya keluar rumah, tentu saja masih mengenakan sarung paleka’ mencoba mendatangi rumah tetangga yang tampak begitu ramai dikerumuni warga. Ternyata dinding rumah batu dan semen permanen disampingnya lepas dan menimpa rumah kayu semi permanen yang ada di sampingnya. Beruntung reruntuhan batu merah dinding yang jatuh dan menerjang atap seng dan masuk ke dalam rumahnya itu tidak mengenainya. Katanya, jarak reruntuhan batu merah dengan tempatnya tertidur bersama istri dan anaknya hanya dalam hitungan setengah meteran.
Linor atau gempa tidak saja memberi pelajaran tetapi juga membuat kita mengenangkan ingatan yang telah lampau, dan saya yang menulis catatan ini, pertama kali mengenal dan merasakan gempa tatkala usia saya masih di sekolah dasar. Saat itu saya tengah berada di atas sebuah becak milik tetangga nenek saya yang terparkir, sedang asyik duduk, becak itu mendadak bergerak maju mundur. Sejak itu, kosakata linor atau gempa masuk ke dalam pemahamanku, semula saya mengira itu kejadian mistik dan digerakkan oleh semacam hantu, laiknya pemahaman anak-anak seusia saya. Karena, kala itu kupastikan benar, tak seorangpun yang ada di dekatku yang berkemungkinan iseng mendorong becak itu.
Pelajaran lainnya adalah, bahwa secara personal saya menangkap realitas kebaikan dan kepedulian kemanusiaan yang luar biasa dan masih begitu melekat pada manusia Mandar-Sulawesi Barat. Itu tampak tatkala gempa dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah 28 September 2018 sekitar pukul 18.02 Wita dan bermagnitudo 7,4 kala itu.
Dalam perjalanan pulang pergi dari rumah atau tepatnya kampung saya, menuju Mamuju begitu banyak lokasi persinggahan yang secara sukarela disediakan oleh warga di sepanjang perjalanan. Niatnya tentu saja hanya satu, untuk menjadi tempat peristirahatan dan pelayanan kesehatan bahkan menjadi titik singgah untuk makan gratis juga mendapatkan sejumlah perbekalan perjalanan lanjutan bagi para pengungsi gempa dan tsunami Sulawesi Tengah.
Tidak jarang bahkan, titik singgah yang disediakan warga masyarakat secara sukarela itu ‘cenderung memaksa’ para pejalan untuk singgah sekedar menerima ransum atau perbekalan lanjutanya ke kampung-kampung tujuan pengungsian mereka. Warga Mandar-Sulbar hadir menyiapkan ‘pelukan’ ketulusan bagi para pengungsi.
Sementara masyarakat yang lewat dan bukan bagian dari para pengungsi pun tampak enggan singgah, karena seakan terbangun kesadaran bersama dalam diri mereka, bahwa sungguh mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan dan menikmati sesuatu yang memang bukan haknya sebagai pengungsi.
Karenanya, rasanya tidaklah berlebih, jika melalui linor ini, sungguh bagi kita yang berpikir akan banyak memperoleh pelajaran dan hikmah di baliknya. Mulai dari kesadaran untuk kembali kepada kesadaran lokal pada bentuk rumah yang telah diwariskan leluhur kita, juga kesadaran bahwa di tengah dunia yang gombal dan hedonis serta moderen ini masih begitu banyak yang tersisa kepedulian dan empati kemanusiaan yang secara spontan bisa bergerak tanpa dikomando, sebelum akhirnya lembaga-lembaga filantropi sosial resmi yang bersifat charity dan acapkali bernuansa pencitraan itu tiba.
Selebihnya entahlah. Mari sama terpekur seraya melayarkan doa dan pelan membangun kesadaran bersama kita. Bahwa hidup sungguh adalah miliknya Yang Maha Hidup. Tanpa harus menunggu datangnya bencana yang akan menggamit kita pada kesadaran kepadaNya. Wallahu alam bissawab. [/*]