Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian 2 dari 10 tulisan)

Ekologi Budaya dan Epistemologi Lokal
Untuk memahami persoalan kebudayaan di Sulawesi Barat, pendekatan yang semata-mata administratif atau sektoral jelas tidak memadai. Kebudayaan harus dipahami sebagai sistem relasional yang menyatukan manusia, alam, pengetahuan, dan struktur sosial. Di sinilah konsep ekologi budaya menjadi relevan.
Ekologi budaya memandang kebudayaan sebagai hasil interaksi jangka panjang antara masyarakat dan lingkungannya. Hutan, sungai, laut, dan gunung bukan sekadar latar geografis, melainkan bagian integral dari sistem makna, ritual, dan pengetahuan lokal. Ketika lingkungan rusak, kebudayaan tidak hanya “terganggu”, tetapi kehilangan fondasi ontologisnya.
Sulawesi Barat hari ini semakin ramai lalu lalang para broker dan komprador yang bernafsu melumat ruang hidup yang mengandung nilai-nilai sejarah, adat, dan identitas kebudayaan kita demi kalkulasi ekonomi brutal. Situasi tersebut tidak hanya memperlihatkan perebutan ruang hidup secara material, tetapi juga menyingkap konflik yang lebih mendasar, yakni pertarungan cara mengetahui dan cara memaknai wilayah.
Ketika ruang hidup dipandang semata sebagai komoditas dan sumber ekstraksi, maka nilai-nilai historis, adat, dan pengetahuan lokal yang selama ini mengatur relasi manusia dengan alam kehilangan legitimasi.
Pada titik inilah perusakan ruang kebudayaan berjalan seiring dengan peminggiran cara pandang masyarakat Mandar sendiri terhadap tanah, hutan, laut, dan musim sebagai ruang hidup yang bermakna, bukan sekadar objek perhitungan ekonomi dan Kalumpang adalah wilayah paling rentan saat ini. Sekali lagi, Kalumpang berada di peringkat pertama dalam ancaman itu.
Selain itu, penting pula mengangkat isu epistemologi lokal. Pengetahuan orang Mandar tentang musim, tanah, hutan, dan laut merupakan sistem pengetahuan yang sah dan teruji secara historis. Namun dalam praktik pembangunan modern, epistemologi ini sering dipinggirkan oleh logika teknokratis dan pasar.
Akibatnya, kebijakan pembangunan berjalan di atas ketidakadilan epistemik, yang pada akhirnya mempercepat kerusakan ekologi dan kebudayaan. Saya mengerti tidak banyak pihak yang tertarik dengan narasi seperti ini, bahkan bagi mereka ini semu, tetapi kita tak boleh berhenti, paling tidak memperlambat kita untuk tiba di krak paling dasar ketidakadilan epistemik.
Kebudayaan Mandar -sebagaimana kebudayaan lain di nusantara- berkembang bersama lingkungan alamnya, mempelajari, menyesuaikan, dan menjaga harmoni alam melalui tradisi serta praktik budaya Mandar.
Pengetahuan ini bukan hanya teknikal, tetapi juga terhubung dengan kosmologi, ritual, dan nilai spiritual masyarakat, misalnya dalam tradisi-tradisi yang berkaitan dengan laut, pedalaman dan gunung atau upacara-upacara yang mencerminkan harmoni manusia dengan alam.
Epistemologi lokal Mandar berarti pengetahuan yang sah dalam konteks budaya Mandar sendiri, bermakna dan relevan bagi masyarakat Mandar dalam mengelola lingkungan hidup sendiri. Bukan hanya berdasarkan ilmu “ilmiah import” yang dalam beberapa peristiwa hanya menciptakan ”ruang hampa”.
Dengan demikian, krisis yang dihadapi Sulawesi Barat hari ini bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga krisis epistemologi, krisis cara mengetahui dan memaknai apa yang dipersepsikan sebagai pembangunan.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




