Karena Jepa adalah Indentitas Komunal Manusia Mandar
Dari FGD Studi Pelestarian Objek Pemajuan Kebudayaan yang Dihelat BPK Wilayah XVIII

MAJENE – Jepa bukan saja sare ande (makanan alternatif-ed) orang Mandar, tetapi jepa adalah identitas komunal, karenanya penting didorong, dilindungi dan dilestarikan. Salah satunya adalah dengan melakukan riset yang secara khusus meneliti jepa dalam berbagai kajian, mulai dari sejarah, sosial budaya hingga ekonomi serta segenap ekosistem pendukungnya.
Begitu salah satu benang merah dari kegiatan Forum Group Discussion (FGD) Studi Pelestarian Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang bertema Upaya Pelestarian Kuliner Tradisional Jepa di Era Modernisasi yang diselenggarakan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPK) XVIII di Ruang Pola Kantor Bupati Majene, Senin, 13 Oktober 2025.
Andriany, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XVIII dalam sambutanya pada pembukaan kegiatan itu mengatakan, Jepa merupakan makanan khas Mandar yang penting dilindungi dan dilestarikan.
Hal itu menurut dia, dikarenakan Jepa, merupakan salah satu makanan khas yang ada di Nusantara dan hanya ditemukan di Mandar. Bahkan sampai saat ini masih begitu mudah dijumpai dan diperjual belikan, hampir di semua pasar tradisional yang ada di Sulawesi Barat.
“Itu artinya, jepa masih menjadi salah satu makanan yang digemari dan itu telah turun temurun ada di Mandar, sebagai makanan tradisional khas Mandar” ujar Andriany.
Dalam kesempatan yang sama, Andi Rita Mariani Basharu Wakil Bupati Majene yang juga hadir dan membuka acara itu mengaku, dirinya hingga saat ini masih begitu menyukai jepa sebagai makanan pavoritnya.
“Saya ini kan, orang Mandar dan saya sangat menyukai jepa dan karena itu kegiatan ini menjadi sangat penting artinya bagi kita. Saya sangat mengapresiasi kegiatan yang digelar oleh BPK Wilayah XVIII. Kita berharap kegiatan ini menjadi salah satu bentuk upaya kita bersama mendorong jepa sebagai makanan yang terdaftar sebagai warisan budaya tak benda, baik di level nasional maupun dunia,” harap Andi Rita Mariani Basharu.

Dalam kegiatan itu, selain Mukhlis Paeni sejarawan, budayawan, dan akademisi yang hadir dalam jaringan memaparkan materinya, hadir pula tiga nara sumber lainnya yang hadir secara langsung mulai dari, Abdul Rasyid Djamil pelaku usaha kuliner khas Mandar, Kasmiati akademisi dan peneliti serta Muhlis Hannan budayawan dan pelaku seni tradisional Mandar.
Menariknya dalam kegiatan yang dihadiri para budayawan, penulis, peneliti dan penggiat seni budaya itu, juga mengemuka teles sebagai penyebutan lain atas jepa di sejumlah wilayah di Sulawesi Barat. Serta sejumlah perbincangan serius lainnya. Termasuk tata kelola jepa, mulai dari hulu hingga ke hilir dan berbagai sub sistem yang mengitarinya.
Bahkan Hamzah Ismail, salah satu peserta aktif yang juga hadir dalam kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga sore hari itu mengatakan, “jepa merupakan olahan dari parutan singkong dan parutan kelapa berbentuk pipih adalah identitas, penanda kebersahajaan, kesabaran, sekaligus wujud kecerdasan kuliner masyarakat Mandar yang sejak lama menjadikannya sebagai makanan alternatif selain beras”.
Patut dicatat, dalam kegiatan itu, hadir pula sejumlah organisasi perangkat daerah terkait, dari Polewali Mandar dan Majene, termasuk Andi Harun Rasyid Parenrengi, Kepala Bidang Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat.




