GAGASANOPINI

“Royalti Musik: Ketika Keadilan Tak Bernyanyi”

Oleh: Abd. Rahman. P

DALAM berbagai sudut panggung musik Indonesia, kisah yang berulang terus terdengar: musisi yang karyanya diputar di radio, digunakan di kafe, bahkan menjadi latar iklan, namun tak pernah benar-benar tahu apakah mereka menerima royalti yang layak.

Ungkapan seperti “Kalau ada, mungkin cuma cukup buat beli kopi” menjadi semacam lelucon pahit yang mencerminkan kenyataan sistemik. Di balik candaan itu, tersimpan kenyataan yang menyakitkan—hak ekonomi para pencipta musik masih jauh dari kata adil.

Royalti musik bukan sekadar angka dalam neraca keuangan. Ia adalah cerminan dari tata kelola publik yang adil, transparan, dan akuntabel.

Ketika tarif royalti berbeda tajam antara Jakarta dan daerah, ketika musisi tidak tahu bagaimana hak mereka didistribusikan, dan ketika lembaga manajemen kolektif (LMK) lebih sibuk menghindari tanggung jawab daripada membangun kepercayaan, maka kita sedang menyaksikan inaction sebagai bentuk kebijakan.

Ketimpangan yang Terstruktur dan Negara yang Diam

Dalam tradisi pemikiran kebijakan publik, Thomas Dye pernah menyatakan bahwa kebijakan adalah “apa yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan.”

Dalam konteks royalti musik, ketidakjelasan implementasi Undang-Undang Hak Cipta mencerminkan bentuk inaction yang disengaja. Negara memilih untuk tidak hadir secara penuh dalam mengatur distribusi manfaat, dan ketimpangan pun menjadi norma yang tak tersentuh.

Namun, untuk memahami lebih dalam, kita perlu kembali pada Harold Lasswell—bukan sekadar sebagai pencetus definisi kebijakan, tetapi sebagai pemikir yang melihat kebijakan sebagai proses distribusi: “who gets what, when, and how.”

Kutipan ini sering digunakan secara teknis, padahal seperti diingatkan oleh Douglas Torgerson, pendekatan Lasswell justru menuntut orientasi reflektif terhadap makna kebijakan itu sendiri. Kebijakan bukan hanya soal alokasi, tetapi soal legitimasi, narasi, dan kehadiran negara dalam kehidupan warganya.

Ketika musisi tidak tahu bagaimana hak mereka didistribusikan, ketika LMK lebih sibuk menghindari tanggung jawab daripada membangun kepercayaan, dan ketika tarif royalti berbeda tajam antara pusat dan daerah, maka kita sedang menyaksikan kegagalan negara dalam memaknai keadilan sebagai nilai publik. Dalam kerangka ini, inaction bukanlah kekosongan, melainkan pilihan politik yang mengabaikan dimensi etis dari kebijakan.

Ekosistem yang Belum Tumbuh

Reformasi tata kelola royalti harus dimulai dari pengakuan bahwa ini bukan sekadar soal hukum, melainkan soal ekosistem kebijakan. Seperti yang saya uraikan dalam kajian akademik, sistem royalti musik di Indonesia saat ini belum memiliki kerangka distribusi yang adil, belum ada mekanisme tarif yang kontekstual, dan belum ada akuntabilitas kelembagaan yang dapat dipercaya oleh pelaku musik.

Kita perlu mendesain ulang sistem tarif berbasis keadilan, memperkuat transparansi kelembagaan, dan membuka ruang partisipasi yang bermakna. Digitalisasi bisa menjadi alat bantu, tetapi tanpa etika dan pengawasan publik, teknologi hanya akan mempercepat ketimpangan. Royalti bukan sekadar urusan teknis, melainkan medan tarik-menarik kepentingan yang menuntut kehadiran negara secara aktif dan reflektif.

Efek Domino yang Terabaikan

Ketimpangan dalam sistem royalti bukan hanya merugikan musisi secara individu. Ia menciptakan efek domino yang merusak ekosistem kreatif secara keseluruhan. Ketika pencipta lagu kehilangan insentif ekonomi, kualitas produksi menurun, regenerasi talenta terhambat, dan industri musik menjadi rapuh.

Ketidakpercayaan terhadap LMK menyebar ke pengguna karya, yang akhirnya enggan membayar royalti karena merasa sistemnya tidak adil.

Negara pun kehilangan legitimasi sebagai pengelola sumber daya kreatif, dan seni yang seharusnya menjadi ruang ekspresi publik justru terjebak dalam konflik distribusi yang tak kunjung selesai.

Belajar dari Negara Lain

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa reformasi bisa dilakukan. Di Belanda, sistem pengelolaan royalti dijalankan oleh lembaga independen yang diawasi oleh pemerintah dan komunitas kreatif. Transparansi menjadi prinsip utama: setiap pemutaran lagu tercatat secara digital, dan musisi bisa memantau distribusi royalti mereka secara real-time.

Australia menerapkan sistem tarif yang fleksibel, disesuaikan dengan jenis penggunaan dan lokasi. Musisi juga memiliki akses terhadap laporan distribusi yang rinci, termasuk siapa yang menggunakan karya mereka dan berapa nilai ekonominya. Singapura, meski kecil secara geografis, memiliki sistem digital yang memungkinkan pelacakan penggunaan karya secara akurat, dengan audit berkala oleh pihak ketiga.

Indonesia tidak kekurangan talenta atau teknologi. Yang kurang adalah keberanian politik untuk membuka jendela kebijakan—policy window—yang memungkinkan perubahan. Tanpa itu, kita hanya akan terus memperdebatkan angka, tanpa menyentuh akar persoalan.
Refleksi Etis: Negara dan Sumber Daya Kreatif

Royalti musik adalah ujian etis bagi negara. Apakah kita mampu mengelola sumber daya publik secara adil dan berkelanjutan? Atau justru membiarkan ketimpangan menjadi norma yang tak tersentuh?

Dalam konteks Indonesia, di mana seni dan budaya sering dijadikan simbol identitas nasional, kegagalan mengelola royalti secara adil adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai itu sendiri. Kita tidak bisa terus merayakan keberagaman musik Indonesia sambil membiarkan para penciptanya hidup dalam ketidakpastian ekonomi.

Lebih dari itu, royalti adalah soal pengakuan. Ia adalah cara negara mengatakan: “Kami menghargai kerja kreatifmu.” Ketika sistem royalti gagal, maka negara gagal menghargai warganya yang mencipta.

Penutup: Saatnya Menata Ulang

Sudah waktunya kita menata ulang sistem royalti musik di Indonesia. Bukan hanya dengan regulasi baru, tetapi dengan paradigma baru: bahwa karya seni adalah sumber daya publik yang harus dikelola secara adil, transparan, dan partisipatif.

Musisi bukan sekadar penghibur. Mereka adalah pencipta makna, penjaga budaya, dan penggerak ekonomi. Menghargai mereka bukan hanya soal membayar royalti, tetapi soal membangun ekosistem yang memungkinkan mereka tumbuh, berkarya, dan hidup dengan bermartabat.

Jika negara terus diam, siapa yang akan menyuarakan keadilan bagi para pencipta makna?


Abd. Rahman. P
Dosen, Pemerhati Administrasi Kebijakan Publik

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: