GAGASANOPINI

Kaili Unde dan Da’a Budaya Asli Pasangkayu Meringkuk dalam Sunyi dan Pelan Menuju Kematian

KEBUDAYAAN adalah fondasi bagi keberlangsungan bangsa. Jika kebudayaan hilang, maka hilang pula jati diri bangsa itu sendiri. Begitu kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Kalimat ini seharusnya dipahat di setiap kantor pemerintahan dicetak besar di baliho APBD atau dijadikan kutipan wajib dalam setiap pidato pejabat daerah tapi sayangnya ia hanya jadi kutipan manis yang tenggelam di antara proyek-proyek infrastruktur dan baliho pencitraan bertuliskan “Menuju Pasangkayu Maju”.

Di ujung utara Sulawesi Barat di antara gemuruh alat berat dan deru industrialisasi suara budaya yang perlahan memudar bukan karena tidak berharga tapi karena tidak dianggap.

Di tengah euforia pembangunan dan derasnya migrasi dari Bugis, Jawa, Makassar, Bali, hingga Toraja Pasangkayu justru lupa bahwa ia punya akar. Akar itu bernama Kaili Unde dan Kaili Da’a.

Mereka bukan pendatang tapi tuan rumah yang merupakan penduduk asli yang justru sering tidak diundang dalam percakapan soal “kebudayaan lokal”.

Secara geografis mereka lebih dekat ke Sulawesi Tengah tapi secara administratif mereka terseret ke wilayah yang kini lebih gemar mengangkat narasi Mandar bukan salah siapa-siapa hanya saja siapa yang paling banyak bicara dialah yang paling sering didengar.

Kaili Unde dan Da’a tidak punya banyak data apalagi museum juga tidak ada dokumenter ataupun kurikulum muatan lokal yang mengajarkan anak-anak Pasangkayu, siapa sebenarnya mereka karena yang mereka punya hanyalah tetua yang semakin sepuh, cerita lisan yang makin samar dan kepercayaan bahwa suatu hari nanti mungkin ada yang peduli.

Salah satu cerita yang kini hanya berbisik di telinga orang tua adalah Mpae Bulava. Ia bukan sekadar dongeng sebelum tidur ini adalah epos moral, spiritual, dan sosial yang diwariskan turun-temurun lalu disampaikan dalam bahasa ibu yang kini lebih sering digantikan emoji dan bahasa gaul TikTok.

Sayangnya, belum ada yang terdorong untuk mendokumentasikan Mpae Bulava, mungkin karena Mpae Bulava tak bisa dijual di festival, tak bisa dibungkus sebagai “kearifan lokal” untuk konten instagram dinas.

Kita sedang kehilangan pelan tapi pasti bukan karena Kaili Unde dan Da’a tak punya cerita, tapi karena kita tak mau mendengarkan. Kita lebih sibuk membangun gapura selamat datang ketimbang membangun kesadaran budaya.

Sampai hari ini, tak ada Perda Kebudayaan di Kabupaten Pasangkayu, Tak ada payung hukum yang bisa membentengi komunitas adat dari gelombang ketidak pedulian sementara daerah lain seperti Yogyakarta sudah melangkah jauh dengan Perda progresif tentang pelestarian budaya, bahasa, sampai batik.

Di Pasangkayu? Budaya hanya muncul saat lomba antar-OPD atau perayaan HUT Kabupaten hanya Simbolik dan seremonial sementara substansi teronggok di laci birokrasi.

Bagaimana mungkin kita bicara “visi berkelanjutan” tanpa menyertakan budaya? Bagaimana mungkin kita bangga pada pembangunan fisik kalau jati diri kita sendiri tengah sekarat?

Apakah pembangunan hanya soal jalan mulus dan gedung tinggi sementara bahasa ibu, cerita rakyat, dan identitas kolektif dibiarkan layu?

Pemerintah daerah, akademisi, media, dan masyarakat sipil harus berhenti bersikap apatis. Budaya bukan beban masa lalu, ia adalah energi hidup yang membentuk masa depan. Tapi ia juga rapuh tanpa regulasi, tanpa dokumentasi, tanpa keberpihakan, budaya Kaili Unde dan Da’a akan lenyap dalam sunyi.

Jika hari ini kita tidak mulai merekam, mengajar, dan melindungi maka kelak anak-anak kita hanya akan mengenal Mpae Bulava sebagai mitos dari sebuah suku yang tak lagi ada. Bukan karena mereka punah, tapi karena kita memilih lupa.

FAUZAN AZIMA

Penikmat dan penggiat seni budaya Mandar ini, selain aktivis juga dikenal gandrung pada berbagai gerakan spritualitas dan pencerahan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: