SEPAK bola adalah olahraga yang paling banyak digemari. Dari kalangan anak-anak, dewasa hingga orang tua. Dari kalangan nelayan hingga kalangan para pejabat. Hampir semua khalayak menjadi penggemar dan pencinta bola. Apalagi di tanah santri, kecintaannya pada sepak bola sungguh luar biasa.
Di tanah santri, pada even terbesar sepak bola dunia seperti piala dunia dan piala eropa, kita akan menyaksikan pemandangan bendera-bendera negara peserta sepak bola di sepanjang jalan, lorong dan setapak. Dan itu sudah cukup lama berlangung.
Tidak tanggung-tanggung, mereka menjadi penggemar sepak bola tidak hanya tampak dari diskusi mereka, tetapi secara verbal ekspresi kegandrungannya pada sepak bola juga ditunjukkan dengan begitu nyata. Termasuk melalui bendera-bendara dari yang berukuran kecil hingga yang paling besar ada dimana-mana mengepung kampung santri.
Bahkan menurut Kanne Baca, jauh tempo sebelum adanya televisi, sepak bola sudah digemari oleh warga kampung santri. Waktu itu mereka mendengarkan pertandingan piala dunia melalui siaran BBC London melalui radio.
Jangankan santri, para kiai juga ikut menjadi penggemar bahkan mempavoritkan negara-negara tertentu sebagai juara. Dulu di tanah santri, hanya Jerman dan Argentina menjadi unggulan. Dan itu terus berlanjut hingga kini, kata Kanne Baca.
Kanne Baca mengisahkan, pada tahun 1990, pertemuan ulang Argentina dan Jerman adalah pertarungan sengit, mengingat pada tahun 1986 kedua kesebelasan andalan itu berada di final yang berakhir dengan kekalahan Jerman 2-3 atas Argentina. Pertemuan ke dua di final ini betul-betul membuat para fans bertarung hingga sampai mereka taruhan uang.
Kala itu, uang terkumpul begitu banyak menjelang pertandingan akan dimulai. Namun, kendala taruhannya tidak ada satupun kelompok yang dapat dipercaya untuk memegang taruhannya.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk mendatangi rumah seorang kiai kampung yang terkenal begitu jujur dan dipercaya oleh semua warga. Kiai itulah kemudian yang diminta dan dipercaya untuk memegang uang taruhan. Ya, karena kiainya tidak tahu itu uang apa. Ya iyya-iyya saja. Dan pertandinganpun dimulai.
Dengan senyum lucu dan menggelikan Kanne Baca menjelaskan, jangan warga kebanyakan, para penjudi sekalipun ternyata begitu menaruh kepercayaan besar kepada kiai. Meraka memahami bahwa sungguh kepada kiai-lah kepercayaan bisa dititipkan.
“Dan mereka belum bisa menjadi orang yang lebih baik dan tidak lagi sebagai penjudi, itu juga bukan lantaran mereka tidak percaya pada kalimat-kalimat yang disampaikan dalam ceramah dan tausiah para kiai itu selama ini. Tetapi, hatinya saja yang belum digerakaan dan belum peroleh hidayah oleh Allah SWT. Semoga Allah SWT. Memberi kita kesempatan menjadi orang baik hingga akhir hayat”, tutup Kanne Baca.
Tidak terasa kopinya sudah dingin… Mari kita seruput.