POOAAAIIIi…apanya yang mau dirindukan??kemegahan, Kesenangan, budayanya, politiknya, kultur masyarakatnya atau…????
Lupakan pilkades serentak yang baru saja usai, lupakan kasus korupsi yang mendera empat anggota dewan yang katanya “terhormat” itu, lupakan pula kabar jika kabupaten lagi devisit.
Itulah kalimat yang ditimpal kedalam hati O’be saat hendak meninggalkan tanah kelahirannya, tanah leluhurnya yang menjanjikan sebuah harapan saat O’be di atas mobil pete-pete.
O’be sejatinya hanya merasakan keindahan ditanah kelahirannya semasa kanak-kanak dulu. Sebab, kala itu ia tak pernah berfikir lebih jauh dengan kondisi lingkungannya semasa masih belum di sunat.
O’be merasakan kemerdekaan dan jiwa yang bebas, tidak ada polemik yang dihadapinya tatkala masih setia merajuk kisah klasik sebagai bocah ingusan. Lantaran ia hanya memikirkan bagaimana bisa tertawa riang siang-malam sesama angkatan lingkungannya di pesisir sebagai anak nelayan.
Namun, O’be tumbuh besar dengan evolusi secara bertahap, ia tumbuh besar dilingkungan yang dulu ia cintai, dan ternyata baru sadar, ia berada dilingkungan yang cukup eksterm.
Ia melihat ketidakberesan orang-orang disekitarnya yang terus terlihat penuh kemunafikan, melihat orang dengan bangga atas kebangsawanannya, ia melihat orang-orang yang penuh kecongkakan atas kekayaannya, jabatannya dan ke-alimannya.
Pundi-pundi keresehannya dimulai dari sebuah sistem yang semakin bobrok, pengurus masjid yang saling rebutan kas, pembagian jatah raskin yang semakin timpang, kepala lingkungan yang acuh tak acuh, ditambah nelayan yang semakin tercekik oleh kuasa punggawa lopi. Disisi lain, tata kelola pemerintahan yang amburadul, datang lagi nalar kritis masyarakat yang semakin tidak terarah.
Lantas, wajarlah jika suatu saat O’be tak merindukan tanah keliharannya sendiri.
Selain persoalan diatas yang membuat bulu O’be merinding, yang lebih miris dalam ingatannya adalah tatkala ia harus kembali merasakan pahitnya kisah percintaannya kepada gadis tetangga kampung yang dipisahkan hanya sebuah jembatan penyebrangan. Gadis yang dia pupuk, dengan setianya merajuk kisah asmara diatas kalimat janji “akan setia” hingga akhir hayatnya.
Namun ternyata, perjuangan cintanya dimasa lalu harus dilulukantakkan oleh sebuah penghianatan, lantaran gadis yang cintainya dulu berpaling kepada laki-laki yang sesuai dengan standar pilihan keluarganya. Lantas O’be harus legowo, meratapi nasibnya yang hampir membuat ia celaka gara-gara cinta.
Naik turunnya drama yang dilalui O’be membuat ia semakin yakin jika tanah kelahirannya bagaikan sebuah fatamorgana yang hanya menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan namun belum pernah ia rasakan secara nyata.
“Jadi apalagi yang harus dirindukan???” ucap O’be yang ditangannya masih mengapit sebatang rokok sebelum memasuki terminal penumpang mobil.
bersambung…