GAGASANOPINI

Resiko Ukuran Tunggal

TAHUN lalu, saya iseng mengirim tulisan ke salah satu media ternama. Tulisan perdana saya langsung diterima redaktur bahkan ditampilkan di headline utama. Ini membuat saya menganggap diri saya sudah bisa menulis. Bahkan merasa lumayan jago.

Seminggu setelah itu, dengan modal merasa lumayan “jago nulis”. Saya kirim lagi tulisan di media itu. Naas, tulisan saya dikembalikan, tentu saja saya kecewa. Selain karena umumnya penolakan itu memang mengecewakan juga karena bertentangan dengan anggapan saya “ masa saya yang lumayan jago nulis ini gak bisa tembus di media itu” .

“Ngirim”, ditolak, kecewa menjadi siklus yang berulang-ulang hingga puluhan kali. Ini membuat saya menyadari ada yang keliru pada cara saya menyusun tulisan. Akhirnya, perasaan ini mendorong saya untuk ikut kelas menulis dengan harapan tulisan saya tembus di media itu.

Setelah sebulan lebih dibimbing dan diajari menulis, saya merasa mantap untuk mengirim lagi tulisan ke media itu. Hasilnya sama, tulisan saya lagi-lagi berada di tempat sampah redaktur. “Sudah ikut kelas menulis tapi gak tembus-tembus di media, jangan-jangan saya tak ada bakat menulis”, begitu umpat saya dalam hati. Akhirnya, saya istirahat menulis untuk meredam akumulasi kekecewaan akibat penolakan bertubi-tubi oleh redaktur.

Namun, di sela-sela mengobati rasa pilu itu. Di suatu malam penuh kontemplasi dan refleksi, terbesit sebuah kesadaran.

“Ngomong-ngomong setelah diajari menulis, ada progres dalam kemampuan saya menyusun tulisan, terutama jenis tulisan essai”, begitu ucap saya penuh refleksi.

Misalnya, saya jadi sedikit paham cara membuat judul yang menggoda pembaca, cara merelevankan tulisan dengan isu aktual, hingga cara mengelaborasi gagasan. Sebelumnya saya tak tahu apa-apa soal itu. Ibaratnya, nilai saya yang tadinya 5 naik jadi 7 koma sekian

Barangkali tulisan saya yang ditolak media bukanlah kegagalan. Sesungguhnya saya sudah berhasil karena sukses meningkatkan level kemampuan menulis saya. Barangkali tulisan saya yang tembus di media tempo hari, tidak mengartikan saya jago nulis mungkin sekali itu hanya kebetulan dari probabilitas seribu berbanding satu. Jadi, perasaan jago nulis dalam diri saya adalah delusi. Sejatinya saya hanya amatiran.

Akibatnya, delusi merasa jago menulis membuat saya menciptakan target yang muluk, yakni tulisan diterima media. Padahal bila sedari awal saya menyadari realitas diri saya yang masih amatiran menulis maka saya takkan menciptakan target setinggi itu. Saya cukup membuat target dengan meningkatkan nilai kemampuan menulis saya. Singkat kata, saya kecewa karena gagal, gagal karena tidak tembus di media. Karena ukuran saya adalah diterima di media.

Yang perlu dicermati di atas adalah alat ukur saya untuk menilai gagal tidaknya tulisan saya adalah diterima di media. Sebelumnya, saya hanya terpaku pada alat ukur ini, tak terbesit ada alat ukur lain yang bisa saya pakai, yakni kemajuan dalam menyusun tulisan (inilah yang terjadi). Ringkasnya, saya terpaku pada satu ukuran kesuksesan, sehingga membuat saya mengabaikan pencapaian-pencapaian saya yang lain.

Saya jadi ingat saat timnas Kolombia kalah di babak enam belas besar piala dunia tahun 2018. Salah satu Pemain utamanya, James Rodriguez tak bisa menahan tangis. Ia terus terseduh-seduh meratapi timnya yang tak bisa lanjut di babak perempat final. Ia kecewa karena gagal, gagal karena ukurannya adalah melaju ke babak selanjutnya.

Namun bila menggunakan ukuran lain, sebenarnya dia pemain yang terbilang sukses, banyak pemain bola yang ingin membawakan negaranya tapi tak dipanggil, dan banyak negara yang ingin tampil di piala dunia, termasuk Indonesia. Bagi Timnas Indonesia, jangankan tembus ke babak 16 besar, bisa ikut di perhelatan piala dunia adalah kesuksesan besar bagi persepak bolaan Indonesia.

Di saat yang sama Portugal juga kalah di babak enam belas besar. Namun Cristiano Ronaldo justru menganggap tim Portugal sudah sukses. Baginya dia dan timnya merasa sudah bermain bagus dan menunjukkan permainan yang menghibur. Ia kalah tapi merasa sudah berhasil.

James dan Ronaldo, sama-sama tersingkir di babak yang sama bedanya James kecewa berat, sementara Ronaldo merasa sudah sudah cukup puas. Akarnya adalah jamez terpaku pada satu ukuran keberhasilan sehingga mengabaikan pencapaian-pencapaiannya yang lain. Sementara itu, ukuran Ronaldo tentu saja jadi juara di piala dunia (Portugal ini loh), Di sisi lain ia membuat ukuran lain yakni cukup bermain bagus. Ukuran kedua inilah yang membuat Ronaldo tak kecewa-kecewa amat.

Seperti saya yang selalu merasa gagal ketika tulisan saya ditolak redaktur, karena ukuran saya diterima redaktur menyebabkan saya lupa progres kemampuan saya setelah diajari menulis.

Ringkas kata, sering sekali kita menyingkirkan pencapaian-pencapaian kita yang lain dalam ruang pikiran kita karena hanya terpaku pada satu ukuran kesuksesan, sehingga kadang kala membuat kita frustrasi bahkan di tingkat paling ekstrimnya adalah depresi dan bunuh diri.

Bahkan dalam budaya kita pun demikian. Bisa kita lihat budaya kita yang menjadikan kulit putih sebagai standar kecantikan. Salah satu indikasinya adalah hampir semua produk-produk kecantikan hanya diorientasikan untuk perempuan berkulit putih atau untuk memutihkan kulit. Sehingga menyiksa perempuan-perempuan yang bawaan lahirnya berkulit gelap.

Banyak perempuan yang terlahir berkulit gelap susah menemukan produk kecantikan yang sesuai dengan jenis kulitnya, dan banyak juga yang berusah payah merubah warna kulitnya jadi lebih terang. Padahal sejatinya standar kecantikan tidaklah tunggal, cantik itu relatif dan standarnya banyak, tidak mesti putih.

MUHAMMAD GUFRAN

Sarjana biasa-biasa yang kebetulan hobi menulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: