Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian 4 dari 10 tulisan)

Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat
Rencana penempatan kantor BPK Sulawesi Barat di Kabupaten Polewali Mandar, meskipun ibukota provinsi berada di Mamuju, tentu akan menimbulkan beragam tafsir.
Di satu sisi, langkah ini dapat dipandang sebagai pengakuan atas peran historis dan kultural Balanipa sebagai salah satu pusat kebudayaan di Mandar Sulawesi Barat. Dalam perspektif desentralisasi kebudayaan -tanpa bermaksud mengabaikan yang lain- pilihan ini tentu dapat dipahami dan sangat beralasan.
Namun di sisi lain, kebijakan ini berisiko menjadi simbolisme administratif, berpontensi kontraproduktif dengan semangat ”passe-Mandar-an” apabila tidak disertai mandat, orientasi, relevansi dan strategi kerja yang terarah dan berkeadilan.
Apalagi satu kawasan (berhadapan) dengan UPTD Taman Budaya di Buttu Ciping Polewali Mandar, tentu ada konflik yang menyertainya, bahkan di internal sendiri.
Allamungan Batu di Luyo yang tidak hanya bermakna historis, tetapi juga epistemologis, karena mencerminkan pola pikir para pemikir Mandar ketika itu, dalam memahami otoritas, ruang, dan kebersamaan, sebaiknya menjadi titik start.
Dengan pemahaman dan tafsir kekinian terhadap semangat Perjanjian Allamungan Batu di Luyo, penempatan Kantor BPK Sulawesi Barat bukan hanya simbolik tetapi juga tidak boleh terlepas dari strategis untuk memberi respek pada situasi terkini.
Ia bukan hanya menegaskan komitmen negara terhadap revitalisasi budaya, tetapi juga mengaktualisasikan prinsip persatuan, musyawarah, dan legitimasi kebudayaan Mandar dalam konteks modern. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa kebudayaan Mandar dapat berkembang, berkelanjutan, dan menjadi sumber identitas serta kemajuan masyarakat Mandar secara keseluruhan.
Bukan malah sebaliknya, mengecil dan komunitas lain semakin merasa ”dioranglainkan”. Jika tidak komprehensif kajiannya dan bijaksana dalam bertindak maka ini berpotensi menjadi kesalahan yang monumental dan sejarah tentu akan mencatatnya.
Meskipun penempatan lokasi fisik tidak otomatis menjamin keberpihakan kebijakan, yang jauh lebih penting adalah apa yang dikerjakan BPK, untuk siapa, dalam kerangka nilai apa dan bagaimana relevansinya dengan situasi terkini.
Jika BPK hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan birokrasi pusat—fokus pada pendataan, pelaporan, dan seremoni—maka keberadaannya akan jauh dari persoalan nyata masyarakat. Belajar pada sejarah keberadaan dan jejak kerjanya, kemungkinannya begitu saja.
Sebaliknya, jika BPK mampu menjadi simpul koordinasi kebudayaan yang responsif terhadap konflik ekologi dan antar komunitas, maka Mamuju bisa menjadi titik strategis. Keberadaan BPK hanya akan bermakna jika ia melampaui fungsi administratif dan hadir sebagai wujud keterlibatan negara yang peka terhadap ruang budaya lokal, sekaligus responsif terhadap perubahan sosial, konflik ekologi, dan dinamika ekonomi-politik yang terus menggerus keberlanjutan kebudayaan.
Pada titik ini, harus diakui bahwa harapan terhadap BPK untuk hadir sebagai pengimbang kekuatan ekonomi-politik yang masif, pelindung ruang budaya, sekaligus penggerak transformasi kebudayaan, memang sebuah utopis.
Keterbatasan kewenangan, struktur birokrasi yang kaku, serta dominasi logika pembangunan ekstraktif membuat peran tersebut tampak jauh dari realitas kebijakan hari ini. Namun, pengakuan atas sifat utopis ini tidak serta-merta menjadikannya tidak relevan.
Justru di situlah nilai kritiknya, harapan yang tampak utopis berfungsi sebagai cermin bagi keterbatasan institusional negara dan sebagai penanda jarak antara mandat normatif kebudayaan dan praktik pembangunan yang berlangsung.
Dalam konteks ini, utopia bukanlah ilusi yang harus ditinggalkan, melainkan horizon etik yang terus mengingatkan bahwa tanpa perubahan cara pandang dan keberpihakan kebijakan, pelestarian kebudayaan akan tetap terperangkap sebagai wacana, sementara ruang hidup dan pengetahuan lokal terus tergerus oleh realitas yang tidak adil. Dalam rangka itu saya berminat curahkan gagasan dan tawaran memulai ruang diskusi.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




