GAGASANOPINI

Pemilu dan Kritik Terhadap Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

DALAM bukunya ‘Le Contract Social’, Jean Jacques Rousseau memaparkan bahwa penguasa (baca: pemerintah) telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial. Di republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan melalui pemilihan umum (Pemilu). Melalui Pemilu, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa depan sebuah negara.

Pemilu sebagai proses seleksi untuk melahirkan pemimpin yang diharapkan mampu merepresentasi rakyat. Karena Pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).

Dengan kata lain, Pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh norma dasar serta kontitusi nasional.

Masken Jie (1961) berpendapat bahwa pemilihan bebas, walaupun bukan puncak dari segalanya, masih merupakan suatu cara yang bernilai paling tinggi. Karena belum ada pihak yang dapat mencipatakan suatu rancangan politik yang lebih baik dari cara tersebut untuk kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan guna penyelenggaraan pemerintahan dalam masyarakat manapun.

Sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 2021 pemilu sudah dilaksanakan sebanyak dua belas kali. Mulai dari Pemilu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 hingga Pemilu tahun 2019 yang baru saja berlalu. Sedangkan khusus untuk Pemilu yang pada pasca reformasi 1998, baru dilaksanakan sebanyak lima kali, yakni pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019. Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan kita Pemilu tahun 2019 menjadi momentum khas karena dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Tiga Sistem Pemilu

Secara garis besar berbicara mengenai sitem kepemiluan yang hampir dipraktekkan di berbagai belahan negara baik yang menganut sistem pemerintahan parlemeter maupun sistem pemerintahan presidensil mengenal tiga sistem kepemiluan.

Pertama adalah, sistem distrik yang merupakan sistem pemilihan di mana negara terbagi dalam daerah-daerah bagian. Di dalam badan perwakilan rakyat, setiap distrik diwakili oleh seorang atau beberapa orang anggota yang jumlahnya sama dari semua distrik. Kelebihan dari sistem ini adalah, rakyat mengenal wakilnya dengan baik, begitu pun sebaliknya, dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara wakil dengan daerah yang diwakilinya. Sedangkan kekurangannya adalah, suara minoritas akan hilang karena hanya yang mendapat suara mayoritaslah yang akan mewakili daerahnya.

Yang Kedua adalah sistem proporsional yang merupakan sistem berdasarkan presentase pada kursi parlemen yang akan dibagikan kepada partai politik peserta pemilihan umum. Dengan kata lain, partai politik akan memperoleh jumlah kursi sesuai dengan jumlah suara pemilih yang diperoleh di seluruh wilayah negara. Kebaikan sistem ini adalah, semua partai terwakili sehingga lebih demokratis.

Selain itu, pada sistem ini, pemilihan juga dilaksanakan secara nasional, tidak dilakukan per daerah. Badan perwakilan benar-benar menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat bagi negara yang menggunakan sistem ini. Namun, keburukannya adalah, pemimpin partai sangat menentukan siapa saja yang akan duduk di dalam parlemen untuk mewakili partainya. Di samping itu, wakil daerah juga tidak mengenal daerah pemilihannya secara dekat.

Khusus sistem proporsional terbuka terdapat dua sistem, yakni sistem proporsional daftar tertutup dimana pemilih hanya memilih tanda gambar atau lambang partai dalam surat suara. Untuk konteks Indonesia hal ini terjadi pada Pemlu pasca reformasi tahun 2004 lalu. Sedang yang lainnya adalah, sistem proporsional daftar terbuka. Dimana pemilih dapat memilih nama atau foto kandidat di surat suara. Partai politik menyediakan daftar calon legislatif untuk dimasukkan ke dalam surat suara dan kandidat yang memperoleh suara terbanyak terpilih sebagai anggota legislatif DPR dan DPRD. Contoh Pemilu di Indonesia pasca reformasi tahun 2009-2014

Sedangkan yang ketiga adalah sistem gabungan sistem distrik dan sistem proporsional. Pada sistem ini, negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang bukan mayoritas tidak hilang begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi.

Penerapan sistem kepemiluan dalam suatu negara lebih mengedepankan pada kesesuaian karakter dan budaya bangsa sehingga tidak ada sistem kepemiluan yang betul-betul final diterapkan namun selalu mencari kesesuaian dari kondisi bangsa.

Tengarai Demokrasi Berjalan Mundur

Dari ketiga sistem pemilu diatas, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, karena dianggap lebih sesuai dengan karakter dan budaya bangsa, yang dalam hemat penulis, sejak diterapkannya sistem Pemilu proporsional terbuka tidak membuat demokrasi kita tambah maju. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yakni adanya tengarai demokrasi ‘berjalan mundur’.

Itu dilihat dari tereduksinya peran partai politik, karena adanya aktor-aktor yang lebih dominan di dalam partai politik. Stagnasi partai politik dalam melakukan proses kaderisasi dan rekrtumen politik yang menyebabkan kurangnya kualitas calon legislatif yang terpilih. Hal ini merupakan akibat dari proses penyaringan yang terkesan tidak mengedepankan kualitas calon sebagai ihwal yang prioritas. Tetapi lebih kepada upaya pemenuhan kouta.

Dampaknya adalah, seringkali yang mendapatkan kursi bukan karena kematangan dan kualitasnya dalam berpolitik, tapi lebih kepada banyaknya basis keluarga dan bahkan uang. Sampai disini, kenyataan ini, malah justru membuka ruang politik uang yang meluas hingga ke masyarakat.

Belum lagi kian meningkatnya politik identitas dan isu-isu SARA yang dikarenakan adanya persaingan internal kandidat dalam partai politik di satu daerah pemilihan yang sama.

Tak heran, jika Ramlan Surbakti, guru besar ilmu politik FISIP Universitas Airlangga menilai, sistem proporsional terbuka bagi pemilihan calon anggota legislatif, DPR dan DPRD yang diterpakan sejak tahun 2009 lima jenis kegagalan yakni: Pertama, gagal memperkuat partai sebagai institusi demokrasi, tapi yang terjadi partai dikelola secara oligarki atau personalistik. Yang kedua, sistem ini gagal menyederhanakan partai politik, sebagaimana tujuan sistem proporsional untuk multi partai sederhana.

Sedangkan yang ketiga, sistem ini gagal menciptakan sistem perwakilan politik yang representatif bahkan malah terbentuk sistem perwakilan politik yang tidak jelas. Yang keempat, gagal menciptkan pemerintahan yang efektif ditingkat nasional maupun daerah.

Dan kegagalan yang kelima adalah, sistem ini telah gagal menghasilkan politisi yang kompoten dan berintegritas, yang ada malah sebaliknya, melahirkan politisi yang korup.

Padahal, dalam aras ideal, partai politik merupakan pilar utama penyangga demokrasi dalam negara domokrasi, karenanya harus diberikan penguatan untuk terus berbenah diri. Utamanya dalam upayanya untuk menjalankan fungsinya secara optimal dalam proses rekrutmen dan kaderisasi, pendidikan politik, dan kontrol sosial yang sehat. Bukan malah di kerangkeng dalam sebuah sistem yang membuat partai politik berjalan mundur, yang pada gilirannya justru berpengruh kepada sistem perpolitikan dan ketetanegaraan kita.

Dalam pikiran penulis, untuk memperbaiki sistem perpolitikan dan ketatanegaraan maka salah satu yang harus diperbaiki adalah partai poilitik dengan mengadopsi sistem pemilu proporsinal tertutup. Karena dengan mengadopsi sistem Pemilu jenis ini, akan mendorong peningkatan peran partai politik dalam rekrutmen dan kaderisasi. Juga diharapkan mampu mengurangi dampak luas politik uang dan politik identitas (SARA). Sekaligus berkurangnya persaingan kandidat calon legislatif dalam satu daerah pemilihan yang sama.

Artinya melalui sistem sebagaimana, sependek pikiran penulis ini, maka semua kader partai politik dapat mensosialisasikan visi-misi partainya, dan diikuti dengan perbaikan regulasi memberikan batasan periode kepada anggota DPR dan DPRD sehingga ada proses rotasi regenerasi dan kesempatan yang sama bagi kader-kader partai untuk menjadi anggota legislatif. Kira-kira begitu.


Sumber Bacaan:
https//www.kompas.comperbedaan sistem pemilu distrik dan proporsional
Hukum online sistem pemilu proporsional dan kelemahannya
Risky Argama. Pemilihan Umum di Indonesia Sebagai Penerapan Konsep Kedaulatan Rakyat. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2004.

DARMAWAN

Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu ini, selain berkhidmat sebagai Pengurus Majelis Daerah KAHMI Pasangkayu juga produktif menulis serta aktif dalam berbagai diskusi demokrasi dan penguatan partisipasi masyarakat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: