INDONESIA sebagai negara hukum. Begitu dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai negara hukum, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) adalah sebuah kemutlakan. Karena hak asasi manusia adalah hak yang amat kodrati, melekat pada setiap orang yang dibawah sejak lahir, tidak bisa di ganggu gugat.
HAM merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Agar tercipta keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, maka setiap tindakan negara (baca: pemerintah) harus berdasarkan kepada hukum yang telah ada, bukan hukum yang dibuat secara mendadak. Negara hukum dan hak asasi manusia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, bagiakan dua sisi mata uang, satu sisi adalah aturan hukumnya dan sisi yang lainnya bagaimana melindungi hak asasi manusia.
Maknanya adalah, adanya pengakuan terhadap hak dan kebebasan perorangan yang tidak saja harus dihormati tetapi juga mestinya dijunjung tinggi. Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.
Selain itu, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dimana demokrasi, sebagaimana dikatakan Charles Costello, adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Maka untuk melaksanakan daulat kekuasaan rakyat, dilaksanakan pemilihan umum untuk tingkat nasional, dan pemilihan kepala daerah untuk tingkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai salah satu agenda reformasi untuk menciptakan tatanan baru Indonesia yang lebih demokratis, dimana sebelumnya selama 32 tahun, dalam cengkeraman rezim Orde Baru kedaulatan berada ditangan rezim dan kroninya, menciptkan kondisi dimana rakyat hanya memiliki hak politik untuk memberikan suaranya pada saat pemilu berlangsung, setelah itu hak politik yang dimiliki rakyat beralih kepada mereka yang terpilih.
Bergulirnya reformasi, terjadi konsolidasi yang besar dalam arus politik rakyat, melalui amandeman UUD 1945 sistem pemilu dirobah menjadi Pemilu secara langsung, baik untuk memilih calon legislatif maupun Presiden dan wakil Presiden sebagaiamna ketentuan Pasal 6A dan Pasal 22E.
Bukan hanya itu, hubungan pusat dan derah berubah yang dulunya sentralistik menjadi desentralisasi, diikuti pembentukan daerah-daerah otonom baru yang sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah disingkronkan dengan pemilihan Presiden dan wakil Presiden dilaksankan secara langsung oleh rakyat, baik melalui partai politik atau jalur independen, kondisi ini telah memberikan akses kedaulatan rakyat di daerah untuk menentukan masa depan daerahnya, sebagai perwujudan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.
Penegakan hak asasi manusia, dalam dimensi politik bangsa Indonesia yang majemuk dan beragam pulau, suku, etnis, dan budaya sebagai realitas sosial terbentang antara Sabang sampai Marauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Pendek kata suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, karena Indonesia berdiri diatas kemajemukan suku, agama ras dan budaya tersebut sebagai satu kesatuan dalam kebinekaan.
Dalam arus besar keragaman tersebut, politik identitas menjadi sesuatu yang niscaya dalam khazanah perpolitikan bangsa Indonesia, karena terbukanya kran demokrasi yang menjamin adanya persamaan hak, bagi semua elemen bangsa untuk tampil sebagai nahkoda kapal, di dalam satu perahu yang sarat akan penumpang yang amat sangat majemuk.
Selama 32 warga Negara Indonesia relative terkungkung dan dimobilisasi serta hanya disodorkan pemimpin di daerahnya, begitupun dalam memilih anggota legislatif selama 32 tahun hanya disuguhi gambar partai untuk dipilih tanpa tahu siapa nanti yang akan terpilih menjadi perwakilan rakyat di legislatif.
Kini dengan terbukanya kran demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang akan mewakili rakyat duduk dalam legislative dan eksekutif. Sehingga untuk meyakinkan penumpang agar memilihnya maka tidak cukup hanya dengan kampanye visi, misi, dan program kerja, misalnya untuk memberantas korupsi, menegakkan supremasi hukum dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun lebih kepada pendekatan identitas agama, suku, dan budaya, persamaan marginal untuk tampil setara dengan yang lainnya demi memenangkan kontestasi politik.
Politik identitas acap kali dipandang sebagai sesuatu yang salah, karena dianggap dapat mencederai perkembangan demokrasi. Namun jika dilihat dari sudut pandang Indonesia sebagai negara demokratis, yang majemuk, plural dan multikultur, terdiri dari karakter dan basis yang berbeda, basis agama, suku, ras, etnis sosial dan budaya, maka politik identitas menjadi keniscayaan dalam setiap momentum Pemilu dan Pemilukada, yang akan selalu hadir dalam setiaf sendi dan nafas perpolitikan kita, terlebih lagi dengan sistem pemilihan secara langsung yang dilaksanakan oleh rakyat.
Menolak politik identitas berarti menolak dan tidak mengakui akan adanya keberagaman, yang justru akan mengarah kepada kondisi otoritarianesme negara yang tidak menerima kondisi objektif masyarakatnya, sehingga harus diperlakukan dan dilihat secara bijak dan dijadikan kontrol negara (pemerintah) dalam melasanakan kewenangannya agar tidak sewenang-wenang. Karena kalau negara dikelola dengan sewenang-wenang maka akan muncul berbagai kelompok identitas yang melakukan perlawanan.
Penggunaan isu identitas dalam pemilu maupun pilkada bukanlah merupakan pelanggaran hukum, selama politik identitas tidak diarahakan untuk menghina identitas yang lain, atau tidak menghina suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Karena politik identitas berbeda dengan black campaign (kampanye hitam) yang merupakan pelanggaran hukum. Misalnya dalam wilayah yang mayoritas muslim, maka tentunya tidak salah, jika pilihan rakyat jatuh pada calon yang beragama Islam, begitupun sebaliknya di wilayah yang mayoritas non muslim, juga tidak salah jika rakyatnya menginginkan pemimpinnya dari non muslim.
Politik identitas sebenarnya bukanlah hal baru dalam pergulatan politik kebangsaan kita, hal ini dapat kita temukan dalam perjalanan bangsa Indonesia, saat para pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pada rapat 22 Juni 1945, tim Sembilan yang diketuai Soekarno mencantumkan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan Pembukaan UUD 1945.
Namun menjelang proklamasi kemerdekaan, Hatta menerima pesan dari masyarakat Indonesia bagian timur, yang menolak masuk Indonesia apabila pernyataan itu dipertahankan. Hatta kemudian merundingkannya, terutama dengan tokoh Islam. Akhirnya, dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, persoalan syariat itu tidak dimasukkan, sedangkan sila pertama dilengkapi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. seperti yang kita kenal sekarang. (Anhar Gongong, Genealogi Pancasila, dalam Tulisan Asvi Warman Adam, Pergulatan Politik Pancasila dilihat tgl 8 Agustus 2021 pukul 11.00).
Bukankah, Amy Gutmann dalam bukunya Identity in Democracy (2011) sebagaimana dinukil dari tulisan M. Iqbal Ahnaf dalam “Politik Identitas Tak Terhindarkan, dan Tak Selalu Buruk” pada 19 Agustus 2018 mengatakan bahwa, identitas memiliki peran krusial dalam demokrasi.
Bagi Gutmann, identitas dalam demokrasi adalah wujud dari agregasi kepentingan yang merefleksikan realitas masyarakat. Ia meyakini demokrasi tidak hanya soal kepentingan yang bersifat rasional, tetapi juga soal identitas.