GAGASANPUISI

Kita Masih Disini

Kita masih disini membaca jejak dalam lambaian tangan. Tak ada kata-kata yang bisa kita percaya mewakili perasaan kita.

Segera sejumlah kota dan desa mulai berkelebat dalam kepala. Rumah yang tak berpenghuni, juga jalan-jalan yang menyisakan sisa air hujan.

Gardu yang menyerupai rumah sawah kesepian tanpa penjual. Dan kota dengan stopannya yang meletih menjalani tugas gantikan aparat pengatur lalu lintas.

Di pengkolan jalan sepeda motor tua dan berwarna merah menggandeng sayuran menikun di jalan yang lembab. Seekor laron melesat menyentuh helm yang pudar warnanya.

Perempuan malam menjinjit di genangan air di atas aspal sepulang dari tempat hiburan malam. Tak ada bising kecuali sepi yang menginggil dan diam. Bajunya lusuh dan bau bir dan asap rokok bercampur aroma malam. Parfumnya meraib dan mampir di pintu diskotik.

Kita masih disini. Sama mencari kata yang tepat untuk sebuah perpisahan. Tetapi kita tak kunjung menemuinya. Kata yang bisa kita jadikan mantra bagi rindu yang telah kita pastikan bakal datang kelak.

Selain perjalanan dan peluit kereta juga klakson bus dan bising terminal. Tak ada kata juga tak ada kota. Karena kita adalah anak desa yang sedang menancapkan keyakinan bahwa kota selalu lebih menjanjikan dan menawarkan pengharapan.

Kita maaih disini memimpikan kota, dan abai pada kesiur angin dipunggung bukit belakang rumah kita, juga gemericik air dan suara air mendidih di subuh hari ditemani kokok ayam dan panggilan adzan dari surau di kampung sebelah.

Kita masih disini dan tidak akan kemana-mana karena kampung ini sudah cukup membuat kita memahami betapa hidup tak melulu tentang gairah dan kemewahan.

Kita masih disini tak membutuhkan kata-kata yang akan berubah menjadi jargon politik dan umpatan. Mari, kembali menaiki tangga rumah panggung kita. Karena sungguh kita tak akan kuat didera rindu.

Kita masih disini dan cukuplah kita menjerang kehangatan dan ketulusan kita sendiri, setelah kota telah begitu lama ingkar pada mantra.

Kita masih disini bersama ketulusan dan kehangatan, dan orang kota kelak akan datang kesini, lalu tak betah dan kembali pulang setelah kecele, menyangka jargon dan umpatan akan laris diperjual belikan disini.

Mandar, 10-15 Januari 2019

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: