Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar
(bagian terakhir dari 10 tulisan)

Dari Simbol ke Aksi Kebudayaan
Pengelolaan kebudayaan di Sulawesi Barat selama ini cenderung berhenti pada level simbolik. Festival, seremonial, pendataan administratif, dan dokumentasi menjadi penanda kehadiran negara dalam ranah kebudayaan, tetapi jarang diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang memperkuat keberlanjutan praktik budaya, ruang hidup masyarakat adat, serta pengetahuan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
Situasi ini memperlihatkan bahwa kebudayaan kerap diperlakukan sebagai obyek representatif atau ikon identitas, bukan sebagai subjek strategis pembangunan yang memiliki kapasitas mempengaruhi arah sosial, politik, dan ekonomi daerah.
Transformasi dari simbol ke aksi menuntut keberanian politik dan ketegasan kelembagaan. Pemerintah harus menegaskan prioritas kebudayaan dalam agenda pembangunan dan menempatkannya sebagai instrumen strategis yang tidak sekadar pelengkap proyek ekonomi atau alat legitimasi politik. Kalau memang serius dengan apa yang diucapkan di mimbar-mibar monolog.
Dari sisi kebijakan, gagasan “dari simbol ke aksi” tidak sekadar slogan retoris, lebih jauh lagi, transisi menuju aksi nyata menuntut perubahan paradigma dalam memahami fungsi kebudayaan. Ia berfungsi sebagai kerangka reflektif dan normatif yang menuntut pengukuran keberhasilan kebudayaan melalui dampak nyata: apakah kebijakan melindungi ruang hidup dan lanskap budaya, serta memberi kontribusi terhadap pembangunan daerah yang adil dan berkelanjutan?
Dengan kata lain, aksi kebudayaan harus menjadi instrumen yang nyata, terukur, dan berpihak pada masyarakat, bukan hanya menjadi tampilan estetis, proyek sesaat, atau alat legitimasi politik yang mudah tergeser oleh kepentingan ekonomi dominan.
Dalam perspektif jangka panjang, hanya dengan mengubah orientasi dari simbol ke aksi, Sulawesi Barat dapat membangun model pengelolaan kebudayaan yang resilient, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi rule model bagi daerah lain bahwa kebudayaan bukan sekadar hiasan sosial, tetapi fondasi strategis pembangunan identitas, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Kebangkitan kebudayaan Mandar menuntut keberanian untuk menggeser orientasi dari simbol ke aksi nyata, dimana warisan budaya tidak lagi sekadar dipamerkan melalui festival, dokumentasi, atau ikon-ikon estetis, tetapi dijadikan landasan strategis pembangunan sosial, politik, dan ekonomi.
Transformasi ini menekankan bahwa kebudayaan Mandar adalah sistem hidup yang terhubung dengan ruang hidup masyarakat adat, pengetahuan lokal, dan ekologi, bukan sekadar hiasan identitas terlebih lagi hanya dijadikan alat legitimasi politik.
Aksi nyata menuntut kepemimpinan yang berpihak untuk menegaskan kebudayaan sebagai prioritas strategis. Kebijakan tidak cukup hanya berbicara tentang pelestarian simbolik; ia harus diterjemahkan dalam perlindungan hak masyarakat adat, penguatan kapasitas lokal, dan pengaturan tata ruang yang menjaga kesinambungan lanskap budaya.
Tanpa langkah konkret, kebudayaan tetap rentan, sehingga potensi kebudayaan sebagai fondasi identitas kolektif Mandar akan terus tereduksi menjadi representasi estetis semata.
Kebangkitan kebudayaan menuntut paradigma baru, kebudayaan sebagai instrumen reflektif dan normatif yang memandu pembangunan, menumbuhkan keadilan sosial, dan memperkuat kohesi komunitas.
Keberhasilan kebudayaan tidak diukur dari jumlah festival atau dokumentasi, tetapi dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, perlindungan ruang hidup, dan keberlanjutan pengetahuan lokal. Hanya dengan mekanisme kerja yang kolaboratif, transparan, dan berpihak, kebudayaan Mandar dapat bergerak dari simbol menjadi aksi yang nyata, relevan, dan transformatif.
Kebangkitan kebudayaan Mandar bukan utopia, melainkan sebuah arah strategis yang memberikan identitas, ketahanan sosial-ekologis, dan keadilan bagi masyarakat. Ia membuka kemungkinan Sulawesi Barat menjadi model pengelolaan kebudayaan yang resilient, inklusif, dan berkelanjutan, dimana kebudayaan berfungsi sebagai fondasi pembangunan yang tidak hanya memperkaya simbol, tetapi juga memperkuat kehidupan nyata masyarakat di tanah Mandar.
Dengan kata lain, kebudayaan Mandar harus hidup, berbicara, dan beraksi mewujudkan warisan leluhur sebagai sumber kekuatan untuk menghadapi tantangan kontemporer dan membentuk masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbudaya.
Tulisan ini merupakan tulisan akhir dari tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)




