Saat Nonton Biduan (part 2)

BARU kali ini bisa melanjut cerita tentang bagaimana riuhnya hiburan ala-ala kampung ditempatku saat nonton para Biduan beraksi di atas panggung.
Bak konser artis dangdut pro, para Biduan mulai satu persatu naik keatas panggung membawakan lagu pilihannya. Sang MC dengan suara dan gaya khas selalu mencuri perhatian para penonton yang telah memadati depan panggung. Sampai-sampai menutup jalan utama depan rumah sang pemilik hajatan.
Dari sekian penampilan Biduan, selalu ada saja satu atau dua yang mencuri perhatian penonton. Tentu karena dandanan cantik nan manis serta sedikit glamour. Ditambah juga tentunya dengan gaya dan aksi panggung yang sedikit seksi dan urakan menjadi hal yang dinanti sejak awal. Tapi penonton yang kian larut kian bertambah itu masih merasa biasa-biasa saja. Saya belum melihat aksi panggung yang katanya akan membuat penonton bergemuruh. Saya makin penasaran….
Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam lewat, sang MC yang memandu acara sejak awal tiba-tiba terganti dengan MC yang baru. MC yang baru berpenampilan tambun dengan gaya asik. Memakai celana berwarna hitam dipadukan dengan atasan kemeja berwarna merah muda plus bretel suspender hitam, berupa tali baju ala-ala gaya jojon, pria itu sangat mengesankan.
“Assalaamual’aikummmhhh Warrahmaatullaaaahih wabarakaaatuh…,” Lelaki bertubuh tambun itu melempar salam ke ratusan penonton yang berdesakan didepan panggung. Rupanya dialah MC yang dinanti untuk memandu acara yang sedikit “panas” hingga larut malam nanti.
Suaranya berat seperti bak beban tubuhnya, tapi ia tetap berusaha menjaga intonasi agar terlihat pro. Senyumnya terus dikulum tak dilepas-lepas sejak ia pertama kalinya memegang corong mic yang sesekali dirapatkan dibibirnya. Entah apa maksudnya.
“mau digoyang sampai pagi… !!! Sekali lagi dia mengeraskan suaranya, menggema seperti ingin meruntuhkan atap-atap rumah disekitaran panggung. Saya yang menyaksikan dari pinggiran jalan bersandar ditembok pagar pembatas, merasakan hentakan suara sang MC. Sangat keras terdengar, bak Banteng nyeruduk truk tangki.
Rambutnya klimis, berminyak, mengkilap-kilap diterpa lampu panggung yang kelap kelip. Saya menduga-duga ia menggunakan minyak rambut anti badai seperti milik teman SD saya dulu. Minyak rambut tancho atau lavender dalam kaleng besi berbentuk silinder berwarna merah muda dan hijau di tepiannya. Wangi cukup dikenal ditahun 80-an. Meski angin tipalayo bergerak dari pantai Polewali begitu kuat, rambut itu tetap bergeming. Emejinggg !
Tentu itu sudah dikalkulasi dengan matang agar tak merusak performa sang MC di atas panggung.
“Apaahhhh kabaaarrrr, semuaaaanyahh?”, ujung Mic lalu diarahkan kearah penonton dibarisan terdepan panggung.
“Baeeeekkkkkkkkk-baeeeekkkkkkk!!!!!” balas penonton dengan semangatnya. Serasa langit-langit rumah yang punya hajatan bergemuruh.
“Yang di ujung sanaahhhhhh Bagaimanaaaahhhhh !!!”, Mic itu kembali disorongkan ke sisi kanan panggung.
“Alhamdullillah…sehaaatttt Ommmmmm……!!!!!” balas penonton, suasana kian bergemuruh.
“kaloook yang di siniiiii siniiiii siiiiniiiii siiiiniiiii.!!!” seperti ada suara echo yang dimainkan. Lelaki tambun itu lalu berjalan ke sisi kiri panggung. “Bagaimanaaahhhhh?”
Penonton pun serentak membalas dengan suara yang tak kalah keras dari sebelumnya
“manttaaaappppp… Pak Aji iiii…….!!!!!”
“Therimaaaaaa khasihhhh…khasihhhh…khasihhhh…!!!!
Entah jawaban-jawaban penonton dan pertanyaan sang MC seperti narasi naskah yang tersusun. Lahir begitu saja bak cemitri yang berbalas……
(berlanjut….)