
PROSES penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Majene 2025–2029 jika boleh jujur bisa dibilang “maraton kilat tanpa jeda”.
Dokumen yang seharusnya menjadi kitab suci pembangunan lima tahunan nyatanya disusun dalam tempo yang membuat alarm partisipasi publik nyaris tidak berbunyi. Padahal secara hukum sosialisasi dan partisipasi masyarakat bukan sekadar formalitas mereka adalah syarat mutlak agar RPJMD tidak sekadar menjadi kertas hias di lemari kantor bupati.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 16 ayat (2) menegaskan bahwa Musrenbang Jangka Menengah harus melibatkan masyarakat, bukan sekadar menempel pengumuman di papan atau mengirim e-mail yang jarang dibuka. Demikian pula Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 Pasal 8 ayat (1) menekankan bahwa setiap tahapan perencanaan pembangunan daerah harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif termasuk sosialisasi yang memadai agar warga bisa memberikan masukan.
Tanpa sosialisasi yang jelas Majene tampak menari di atas kertas tipis dimana warga tidak tahu apa yang direncanakan dan indikator capaian RPJMD nyaris tak tersentuh. Jika ketidaksesuaian kebijakan dengan kebutuhan masyarakat terjadi rakyat bukan hanya akan mengernyitkan dahi tapi mereka bisa turun ke jalan, memprotes, atau minimal mengolok-olok dokumen “sakral” yang seharusnya menjadi panduan pembangunan mirip dengan demonstrasi di Kabupaten Pati yang bisa menjadi pengingat bagi pemerintah daerah Majene.
Kabupaten Majene dengan visi “Majene Maju, Mandiri dan Berbudaya” seolah ingin menegaskan bahwa kemajuan, kemandirian, dan pelestarian budaya adalah prioritas utama namun menelisik lebih dalam visi tersebut tampak lebih cocok sebagai slogan di baliho ketimbang pedoman pembangunan yang konkret.
Program Prioritas “Lima Pattuyu” yang digaungkan Pemerintah Kabupaten Majene dalam RPJMD 2025–2029 terdengar ambisius program ini menyentuh berbagai aspek penting mulai dari pengendalian harga kebutuhan pokok, perluasan lapangan pekerjaan, pembangunan infrastruktur ramah lingkungan, pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal, hingga peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan namun memasuki periode kedua sebagian besar program masih terjebak dalam retorika. Bagi warga Majene yang sudah hafal manuver birokrasi RPJMD ini lebih mirip daftar angan-angan yang dipoles rapi untuk dibaca sehari saja.
Menilik dokumen RPJMD 2025–2029 terlihat bahwa sebagian besar indikator capaian program masih bersifat umum dan kurang terukur.
Misalnya, program peningkatan kualitas pendidikan mencantumkan target “meningkatkan mutu pendidikan” tanpa menyertakan angka konkret mengenai jumlah guru bersertifikasi, rasio murid per guru, atau capaian kompetensi minimal. Padahal transparansi semacam ini sangat penting agar masyarakat bisa memantau apakah program benar-benar berjalan sesuai rencana dan ketidakjelasan indikator ini membuat RPJMD berpotensi menjadi dokumen simbolik yang sulit dievaluasi secara obyektif.
Selain itu, rencana pembangunan infrastruktur hijau yang termaktub dalam RPJMD tampak ambisius di atas kertas namun dokumen itu tidak menyertakan jadwal pelaksanaan rinci, alokasi anggaran tahunan, atau titik koordinat lokasi proyek dan tentu tanpa rincian tersebut publik sulit mengetahui apakah program tersebut realistis atau sekadar retorika.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan serius terkait keselarasan RPJMD dengan kemampuan fiskal daerah mengingat defisit anggaran yang sempat terjadi pada periode sebelumnya.
Fakta lain yang tercatat dalam RPJMD adalah target pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal. Dokumen menyebutkan peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perikanan tetapi tidak ada data baseline terkait produksi, kapasitas pasar, maupun rencana konkret pelibatan petani dan nelayan dengan kata lain RPJMD mengumbar niat baik tanpa menyertakan metode konkret untuk mewujudkannya.
Kondisi ini menguatkan kritik bahwa RPJMD Majene 2025–2029 lebih banyak berbicara dalam bahasa ambisius namun miskin rincian operasional sehingga partisipasi publik yang diatur undang-undang pun berisiko hanya menjadi formalitas semata.
Rencana Pembangunan Daerah diatur dalam aturan lengkap yang bisa menjadi solusi atau bahkan ilusi untuk menuju Majene yang unggul, mandiri, dan religius. Janji politik Bupati dan Wakil Bupati pada periode 2021–2026 seharusnya menjadi acuan tetapi realitasnya jauh dari harapan. Pada periode sebelumnya banyak elemen mahasiswa mempertanyakan kinerja pemerintah daerah dan menilai pemda gagal mewujudkan visi-misinya sendiri.
Kabupaten Majene bahkan mengalami defisit anggaran yang signifikan, Kasus gaji pegawai honorer yang tidak terbayarkan, pemutusan listrik di beberapa kantor OPD dan janji “Majene Religius” yang tampak absurd karena tidak direncanakan dengan matang menjadi catatan kelam periode pertama pemerintahan.
Kini, Bupati menjabat periode kedua. Seharusnya janji-janji periode pertama sudah menunjukkan hasil nyata. Kenyataannya? Stabilitas harga kebutuhan pokok masih naik-turun bak roller coaster, lapangan kerja tetap jauh dari desa terpencil, dan infrastruktur hijau lebih banyak dipajang di baliho daripada di lapangan.
RPJMD ini pun hadir bak sandiwara formalitas, disusun semalam untuk disahkan sementara implementasinya menunggu “periode ketiga yang tak kunjung datang”.
Majene sesungguhnya memiliki potensi luar biasa kabupaten ini menjadi pusat pendidikan di Sulawesi Barat dengan sejumlah kampus yang menarik mahasiswa dari berbagai daerah. Wilayah pesisirnya kaya sumber daya laut, sektor pertanian produktif, dan pariwisata menyimpan peluang besar.
Secara teoritis, Majene bisa menjadi tuan rumah kemajuan ekonomi dan pendidikan bahkan menjadi contoh bagi kabupaten lain di Sulbar sayangnya potensi ini masih terbungkus retorika. Sementara realisasi di lapangan seperti tersandera birokrasi.
Data dan fakta yang tercantum dalam RPJMD sendiri menegaskan kelemahan dokumen ini. Dari target peningkatan mutu pendidikan hingga pengembangan ekonomi lokal, indikator yang digunakan masih bersifat umum tanpa baseline atau angka capaian yang jelas.
Jadwal pelaksanaan proyek, rincian anggaran, dan lokasi terperinci untuk pembangunan infrastruktur hijau tidak disebutkan, membuat dokumen sulit dijadikan pedoman implementasi.