HARI Ahad tanggal 15 Mei 2021 menjadi titik awal kepusingan yang menderaku. Kepusingan soal kuliah dan pandemi yang telah mulai massif mewabah nyaris ke semua penjuru negara dan kampung. Tak terkecuali, tempatku berdiam dan tercatat sebagai salah satu mahasiswa aktif yang bekuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Majene.
Wabah yang tidak saja sukses membuat banyak pihak, termasuk saya terjebak dalam ketakutan. Tetapi juga sukses dengan gilang gemilang mengantarkan banyak orang menukik jauh ke titik terendah penghasilan dan pendapatan ekonominya.
Kala itu, tingkat penghasilan kian menurun. Tak pelak, proses pertukaran pun mulai redup. Harga-harga isi dapur dan makanan sehari-hari pun pelan sulit dijangkau. Kepusingan yang berputar-putar dan tak kunjung menemui jalan keluar.
Semua segmen menanggung kepusingan yang tak berujung. Kantor-kantor mulai diliburkan, sekolah dan lembaga pendidikanpun pelan mulai dikosongkan. Pilihan yang tersisa adalah pertemuan melalui jejaring komunikasi internet.
Perantara media internet menjadi jalan keluar sekaligus jawaban. Kampus tempat penulis kuliahpun seketika beralih pola, dari kuliah tatap muka berubah menjadi kuliah dalam jaringan (Daring). Namun problem ekonomi dan biaya kuliah seketika menjadi momok yang sulit diselesaikan. Tidak seperti jalinan komunikasi yang bisa diselesaikan dengan jalan kuliah Daring itu.
Sejumlah orang tua terjebak dalam pusaran. Penghasilan kian hari kian tidak menentu. Bahkan tidak sedikit pula yang lantas tidak lagi sanggup sekedar membayar uang kuliah anak-anaknya. Tidak terkecuali, orang tua penulis pun mengalami hal yang serupa.
Belum lagi problem kuliah Daring yang juga menyisakan sejumlah soal, karena sarana komunikasi internet tidak pula mampu menyasar semua wilayah, tempat sejumlah mahasiswa berdomisili. Akses jaringan mengalami permasalahan yang tidak lantas, bisa berjalan baik-baik saja.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang kemudian memilih alternatif cuti. Pilihan ini, menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh mereka yang mengalami dampak langsung penurunan ekonomi di era pandemi. Termasuk penulis juga mau tidak mau harus mengambil pilihan sulit itu. Berhenti kuliah sementara, atau cuti kuliah sekedar untuk membantu meringankan beban di pundak orang tua yang memang terasa kian memberat di tengah pandemi.
Semula, penulis tidak pernah menduga, bahwa dengan alternatif cuti kuliah ini, penulis akan menemukan hal baru dan setidaknya mampu mengurangi volume stres yang menguasai kepalaku untuk sementara waktu. Benar saja, di saat cuti kuliah menjadi pilihan itu, lalu saya kembali dipertemukan Tamsil, kawan penulis yang tercatat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majene sebuah lembaga ekstra kampus yang sukses melahirkan banyak pemimpin.
Kepadanya lalu penulis banyak menuturkan problem yang tengah kuhadapi. Beruntung darinya, penulis lalu diarahkan untuk memilih bekerja sementara waktu, ditengah cuti kuliah yang telah menjadi pilihanku itu.
Sebuah jalan keluar, yang jika mau jujur, tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Artinya pilihan bekerja, kini, setidaknya dapat membantu mengurangi beban orang tuaku, sambil cuti juga bisa sedikit menambah pengalaman dan pengetahuan baru tentang cara bekerja.
Dan pilihan bekerja yang direkomendasikan oleh kawan saya itu adalah, bekerja di Cafe Dondori. Sebuah cafe literasi yang diampuh dan dimiliki oleh Kanda Arifin Nedjas, seorang pekerja kemanusiaan yang belakangan penulis ketahui, juga pernah malang melintang aktif di dunia LSM dan bahkan sebelumnya tercatat pernah serius bergiat di Teater Flamboyant dan memiliki banyak relasi dengan banyak orang dan banyak pihak.
Atas saran Kawan Tamsil itulah, keesokan harinya, tepatnya usai shalat isya, saya pelan bergerak menuju Cafe Dondori dan mencoba peruntungan dengan menemui pemiliknya. Tentu saja, dengan pikiran malayang-layang seraya menerka-nerka, adakah saya akan diterima atau tidak?
Namun, kembali di luar dugaan saya, setiba di Cafe Dondori itu, oleh beberapa karyawannya yang ternyata semuanya baik itu, saya lalu diarahkan untuk ketemu sang pemiliknya. Semula saya begitu kikuk campur tegang saat duduk berhadap-hadapan dengan Kanda Ifin–sapaan karib Arifin Nedjas.
Namun jauh di lubuk hatiku yang terdalam, kekakuan dan ketegangan itu mesti saya lawan, karena hal yang jauh lebih penting kini, adalah bagaimana bisa melanjutkan hidup di Majene dalam keadaan cuti kuliah dan dengan tidak membebani orang tua saya.
Kala itu boleh jadi Kak Ifin kaget dengan kedatangan saya, sebab ditengah suasana kikuk dan tegang itu, tiba-tiba pula saya curhat. Tidak bermaksud dikasihani, namun memang hidupku kala itu, betul tengah dalam problem dan masalah kuliah.
Kepada Kak Ifin, saya mulai bercerita, masalahku di kampusku yang sedang cuti. Bahkan nyaris semua tentang diri dan masalahku, aku ceritakan dengan panjang lebar. Tidak terkecuali latar belakang keluarga-ku sampai pada keseharian-ku di Majene.
Sebetulnya, saya tidak menduga akan diterima bekerja di Cafe Dondori, mengingat jumlah karyawan yang bekerja disitu telah memenuhi kebutuhan maksimalnya. Namun dalam mimik serius tetapi tetap santai, Kak Ifin dengan penuh ketulusan, tampak dirinya begitu mengasihi saya, dan melontarkan peranyataanya, bahwa dirinya membolehkan saya untuk bekerja di Cafe Dondori miliknya itu.
Alhamdulillah, seketika terucap. Kepusingan-ku mulai pelan meredup seperti hujan yang baru saja selesai dan disongsong oleh matahari cerah. Sahdan, keesokan harinya saya mulai bekerja, Cafe Dondori kembali memiliki tambahan karyawan. Seorang mahasiswa yang terpaksa harus cuti lantaran kondisi ekonomi di tengah pandemi.
Dalam benak, saya sungguh merasa amat sangat beruntung. Karena selalu dipertemukan dengan orang-orang baik. Semoga saya juga ikut baik dan mampu berbuat baik, serta menjaga amanah juga kepercayaan orang-orang baik yang ada dalam lingkaran kehidupanku. Allah semoga tetap mengasihiku, bersama mereka yang ada dalam lingkaran kehidupanku itu. Amin amin amin ya Rabbal Alamin.