
“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan” (Ibnu Sina).
KETELADANAN Ibnu Sina sebagai “Bapak Kedokteran Modern” pernah diangkat dalam film di Rusia. Film yang diproduksi 64 tahun tersebut ditonton jutaan orang melalui media sosial, setelah apa yang dilakukannya dalam melawan virus saat itu, yang kondisinya kurang lebih sama dengan pandemi Covid-19 saat ini.
Ibnu Sina meminta warga agar tidak berkumpul di jalan, pasar, dan masjid. Karena, diyakini jika seorang terkena virus, maka ia dapat menularkan kepada ratusan orang lain. Ibnu Sina menjadi orang pertama yang mempraktikkan metode social distancing, physical distancing dan no social panic dalam melawan virus yang menyebabkan kematian “al-maut al aswad” pada sepuluh abad lalu.
Untuk mengantisipasi virus, Ibnu Sina menganjurkan masyarakat menggunakan cuka dan berkumur dengan air yang dicampur dengan daun apsitus/wormwood (artemisia absinthium). Selanjutnya dalam masa genting itu, ia meminta masyarakat tidak takut kepada virus, menganjurkan agar uang yang digunakan bertransaksi juga disterilkan dengan cairan campuran cuka.
Ia pun turut menghimbau masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing) guna memutus mata rantai penularan serta tidak terpapar social panic (takut berlebihan), karena hal tersebut bisa menjadi penyebab kematian yang lebih ganas daripada virus itu sendiri.
Hal ini mengingatkan pada sebuah kisah Wali Allah dengan virus mematikan, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang adanya wabah di Kota Damaskus (Siria) ratusan tahun yang lalu. Diceritakan pada suatu masa, muncul segerombolan makhluk Allah berupa wabah penyakit ganas yang hendak memasuki Kota Damaskus. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan salah satu Wali Allah. Kemudian, terjadilah percakapan.
Waliyullah bertanya, “mau ke mana kalian?”
Wabah menjawab, “kami diperintah oleh Allah untuk memasuki Damaskus.”
Waliyullah bertanya lagi, “berapa lama, dan berapa banyaknya korban?”
Wabah itu pun menjawab, “dua tahun dengan seribu korban meninggal”.
Dua tahun kemudian, jumlah korban meninggal ternyata mencapai 50 ribu orang. Ketika Sang Wali bertemu kembali dengan wabah penyakit ini, ia pun bertanya, “kenapa dalam dua tahun kalian memakan korban 50 ribu orang? Bukannya hanya seribu orang meninggal?”.
Wabah itu pun menjawab, “kami memang diperintah Allah untuk merenggut seribu korban. Empat puluh sembilan ribu korban lainnya meninggal dikarenakan panik”.
Dalam menghadapi wabah sepatutnya kita wajib menjaga kesehatan, menjaga diri sendiri, keluarga, dan saling jaga paseduluran dengan sekitar. Waspada, namun jangan panik. Kita juga sepatutnya mengikuti himbauan pemerintah dan ulama.
Saat ini, pandemi Virus Covid-19 tengah menjadi perhatian utama diseluruh dunia. Hal ini memunculkan banyak polemik terkait merebaknya wabah yang sampai saat ini terus memakan korban. Selain itu, menyangkut konspirasi elit dunia yang turut dikritisi St. Fadilah eks Menteri Kesehatan era Presiden SBY saat ini tengah hangat diperbincangkan.
Pada 6 Maret 2020, empat hari setelah diumumkan kasus positif (2 Maret 2020), St. Fadilah menghimbau masyarakat untuk mengaktifkan Desa Siaga. Desa Siaga ini adalah upaya yang dilakukan dalam menghadapi wabah flu burung dan penanganan gizi buruk pada tahun 2006-2009.
Sebulan berikutnya, 2 April 2020, ia kembali bersuara. Dia mendukung dilakukannya physical distancing, dan melakukan screening massal. Menurutnya, yang sangat penting untuk memotong penularan virus corona adalah physical distancing didisiplinkan.
Pada 19 April 2020, kali ini St. Fadilah bersuara keras mengenai vaksin Bill Gates. Dia curiga dengan Vaksin Corona yang disiapkan pendiri Microsoft itu mencapai angka 7 milliar, bahkan sudah mulai diuji coba. Fadilah meminta Indonesia harus menolak. Ia khawatir pada obsesinya bahwa, Bill Gates telah menjalin hubungan dengan pemerintah negara seluruh dunia, termasuk Indonesia agar vaksinnya menjadi program resmi pemerintah.
Ia turut menyampaikan kewaspadaannya bahwa untuk menghadapi wabah Corona di Indonesia, sebaiknya pemerintah tidak menggunakan vaksin yang diproduksi oleh perusahaan farmasi yang berkaitan dengan Bill Gates.
Berikut adalah pertanyaan kritis St. Fadilah terkait vaksin Bill Gates :
Pertama, kapan Bill Gates mulai membuat vaksin ? Pasalnya pembuatan vaksin memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Kalau Bill Gates sudah siap dengan vaksin tersebut, sejak kapan ia memiliki seed virus nya? Apa sebelum pandemi ? Mengingat pada tahun 2015 ia sendiri (Bill Gates) telah mengumumkan akan ada pandemi di tahun 2020.
Kedua, seed Virus Corona dari strain negara mana yang digunakan oleh Bill Gates untuk membuat vaksin?. Menurut para ahli medis di dunia, sampai sekarang virus tersebut masih terus berubah-ubah dan bermutasi.
Dikabarkan, saat ini (baca : virus) telah menjadi tiga clade, bahkan ada yang mengatakan telah menjadi enam clade. Maka seed virus yang mana yang dijadikan oleh Bill Gates?, sampai sekarang tidak jelas.
Ketiga, vaksin Bill Gates akan dipasang microchip. Konon digunakan untuk memantau pengguna vaksin tersebut. Menurut St. Fadilah, “Tidak bisa diketahui dampak negatif dari microchip tersebut terhadap tubuh manusia dalam jangka panjang.
Apa betul microchip itu hanya untuk tanda seperti yang dia katakan? Tidak ada bukti sama sekali. Kita wajib waspada karena Bill Gates mempunyai proyek ambisius yaitu depopulasi demi mengatur populasi sedunia”.
Keempat, pertanyaan yang menggelitik muncul. Apabila Bill Gates sudah mulai membuat vaksin, apakah dia telah memiliki virus corona sebelum pandemik terjadi? Maka tidak heran bila beberapa peneliti dunia mengatakan bahwa pandemi Corona saat ini tidak natural.
St. Fadilah menuturkan bahwa Indonesia saat ini tidak perlu Vaksin Corona karena virusnya yang labil dan tidak adanya data valid mengenai pasien positif corona dan negatif. Ia telah menduga sebelumnya akan terjadi wabah lain setelah flu burung (H5N1) mereda.
Karena dalam pandemik flu burung, dia berhasil menyimpulkan berdasarkan data-data yang valid bahwa ada konspirasi di balik pandemik H5N1 (baca buku “SDB”). Konspirasi utama yang harus ada dalam kasus ini adalah WHO dan konspirator lain, yaitu pihak-pihak industri farmasi yang akan menerima keuntungan besar dari terjadinya pandemi.
Selama dua faktor itu masih merajai, maka pandemi terus berlanjut. Jika diyakini ini adalah desain atau konspirasi, maka jelas ada sisipan misi penguasaan ekonomi dunia jika wabah ini kian berlarut.
Salah satu dampak dari merebaknya wabah Virus Corona ini yaitu masjid sebagai rumah persatuan umat islam akan ditutup, meskipun pada persoalan dampak dari adanya virus ini memang dianjurkan untuk tidak membuat kerumunan massa.
Kondisi ini pun didukung dengan riwayat pada masa khalifah bahwa dibolehkan untuk tidak ke masjid pada kondisi wabah besar. Sehingga kesempatan ini semakin dimanfaatkan oleh pembuat konspirator, jika misi bisnis dan ideologi menjadi tujuannya. Tentu fatwa tak boleh disalahkan, sebab konspiratorlah yang memanfaatkan hadis agar secara darurat fatwa ulama dan himbauan pemerintah lahir.
Diciptakan ketakutan untuk membuat kita panik dan takluk, serta meninggalkan rumah ibadah sebab adanya riwayat boleh meninggalkan sholat dalam kondisi seperti ini adalah langkah yang tepat. Di sisi lain memaksakan diri ke masjid akan menimbulkan stigma pembangkang pada himbauan.
Adapun kondisi saat ini masyarakat dihadapkan pada minimnya pemahaman tentang Covid-19, serta begitu menggebu menikmati wacana lockdown yang sengaja digembosi para konspirator agar terjadi kekacauan di Indonesia.
Tentunya ini menjadi celah bagi penguasaan, berupa tawaran hutang akibat krisis, dengan syarat-sayarat ideoligi atau vaksin. Jelas bahwa, setelah kantong bisnis ini terpenuhi, takluknya negara berkembang akibat krisis, dan runtuhnya persatuan umat beragama, maka misi bisnis vaksin akan lancar dan ideologi rasionalisme total menjadi solusi.
Sehingga kasus yang terjadi hari ini adalah bagian strategi agar masyarakat benar-benar dirumah, sehingga perang melawan virus sekaligus melawan skenario konspirasi berjalan mulus.
Pemerintah dalam hal ini Bapak Presiden Jokowi begitu tenang. Tidak memilih lockdown sebagaimana wacana yang berkembang. Seperti yang kita ketahui, bahwa lockdown akan memerlukan biaya yang sangat besar.
Negara maju seperti Jerman contohnya, sudah mengeluarkan anggaran sebanyak € 750 miliar atau setara dengan Rp 13.000 triliun. Dan perbandingan jumlah penduduk Jerman dan Indonesia ialah 83 juta jiwa untuk Jerman sedangkan Indonesia 267 juta jiwa.
Namun sayangnya, langkah tepat pemerintah ini begitu lamban direspon ditingkat bawah. Baik itu berupa gerakan sosialisasi secara massif kewaspadaan atau aksi lainnya. Hal ini kemudian memberikan efek yang buruk pada tatanan yang ada dimasyarakat. Ini kemudian diperkeruh dengan kurangnya edukasi oleh pihak berwenang yang semestinya penting guna menyeimbangi arus pemberitaan yang terus menyebar.
Salah satunya ialah Rapid Tes, sebagai langkah awal dalam mendeteksi keberadaan Virus Covid-19 dalam tubuh. Hal ini dirasa sangatlah penting agar warga tidak salah kaprah dan tidak menimbulkan kegemparan ditengah masyarakat awam, dengan menganggap positif rapid maka positif pula seseorang terpapar Virus Corona. Dan ini adalah pemahaman yang jelas salah.
Fenomena Latah ini, harus disikapi siapapun yang berwenang agar bergerak cepat disemua tingkatan. Jangan menunggu masyarakat “chaos” karna saling curiga, saling fitnah tanpa sengaja karena ketidaktahuan.
Ataukah kasus yang terjadi hari ini adalah bagian dari pelajaran dan bisa menjadi starategi sosialisasi agar masyarakat benar-benar dirumah, sehingga perang melawan virus sekaligus melawan skenario konspirasi berjalan mulus. Dengan catatan, jangan ada oknum yang memanfaatkan untuk meruap materi dengan jumlah fantastis.
Sebagaimana Hobbes memandang bahwa, pemerintah sebagai alat untuk memastikan keamanan kolektif. Otoritas politik dibenarkan oleh kontrak sosial hipotetis diantara banyak pihak yang memikul tanggung jawab untuk keselamatan dan kesejahteraan semua orang berdaulat atau entitas.
Jika benar ini adalah sebuah senjata biologis dalam perang moderen untuk menguasai dunia. Maka belajar dari kondisi ini, maka secerca hiruk pikuk kemudian mencuat. Virus tidak akan pernah berakhir secara total, jika menunggu matinya, maka libur tidak akan kunjung selesai, kegiatan sekolah, gotong royong dan kegiatan beragama akan dipinggirkan.
Mari Bersatu dalam kesadaran bersama untuk memutus mata rantai penyebarannya dengan “Stay Home” atau dirumah saja. Membatasi kontak langsung dengan kerabat serta sahabat yang “berkemungkinan” baru saja datang dari luar daerah atau luar negeri. Cukuplah beberapa bulan terakhir ini menjadi sesuatu yang sangat mencekam.
Selebihnya, negara melakukan “recover and colling” dengan mempersiapkan segala kemungkinan ke depan untuk menghadapi kondisi darurat. Tidak hanya pada persoalan kesehatan semata, melainkan sandang dan pangan, militer, senjata, ekonomi, medis, bahan bakar serta produk hukum. Mari berpola hidup sehat dan bangun kekuatan bangsa yang besar dan unggul. [**]