Gelar Dialog Deradikalisasi, IRD Harap Adanya Kesamaan Paradigma
Polewali -Tayang9 – Institute Of Research And Democracy (IRD) Polewali Mandar, kembali menggelar Dialog Deradikalisasi, di Cafe Na Abol, Kelurahan Madatte, Kabupaten Polewali Mandar, Sabtu, 28/09/19.
Kegiatan Dialog, yang mengangkat tema “Memberdayakan Masyarakat Dalam Rangka Menangkal Paham Dan Sikap Radikal Terorisme Yang Berkembang Di Masyarakat” itu, menghadirkan sejumlah narasumber yakni Kasat Intelkam Polres Polman AKP Bayu Aditya Yulianto, Plh Kalapas Polman I Wayan Nurasta Wibawa, Plh Dan Unit Inteldim 1402/Polmas Pelda Baso Tahir, Perwakilan Kakandepag Polman Haris Nawawi, Ketua PCNU Muh.Arsyad.
Direktur IRD Muh.Assaibin mengatakan, bahwa dialog tersebut merupakan agenda rutin dilaksanakan, dalam rangka menyikapi atau merespon isu-isu hangat yang berkembang di masyarakat.
“Tentunya akan melahirkan kesamaan paradigma, dalam menangkal paham Radikalisme ditengah masyarakat. Sehingga hasil-hasil diskusi ini akan menjadi sebuah rekomendasi, untuk sama – sama kita lakukan dalam pencegahan faham radikalisme sejak dini,” ucap Assaibin.
Sementara itu ditempat yang sama, Pelaksana Harian Dan Unit Inteldim 1402/Polmas Pelda Baso Tahir menjelaskan, paham radikalisme sudah berkembang secara luas baik di dalam maupun di luar negeri.
“Paham tersebut muncul di karenakan ketidakpercayaan, dan kepuasan terhadap kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah baik didalam negeri maupun diluar negeri. Paham ini menganganggap bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan yang benar, padahal tindakan yang dilakukan oleh sekelompok yang menganut paham tersebut, merupakan tindakan kekerasan yang sangat merugikan bagi warga sipil dan negara,” jelas Pelda Baso.
Selain itu ia juga menambahkan, bahwa terkait strategi dalam mengidentifikasi paham radikalisme diwilayah teritorial, sangat diperlukan kerja sama antara masyarakat dan aparat, guna membendung pengaruh atau efek yang dapat berujung pada tindakan anarkis, serta aksi-aksi terorisme.
“Babinsa dan Babinkamtibmas misalnya, harus berkoordinasi serta bekerja sama dengan semua komponen masyarakat dalam upaya kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi. Perlu bahu-membahu memberikan pemahaman yang positif, merangkul semua komponen bangsa, serta mengambil tindakan preventif untuk mencegah radikalisme dan terorisme,” tutupnya.
Sementara itu Kasat Intelkam Polres Polewali Mandar AKP Bayu Aditya Yulianto menjelaskan, bahwa paham radikalisme dalam perspektif kriminalogi yakni, aliran yang radikal dalam politik yang ingin adanya perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis. atau kalau perlu dengan kekerasan, yang bertujuan merubah sistem sosial politik secara drastis.
“Kriteria radikal, kelompok yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang berlaku.Dalam kegiatan aksi-aksi kekerasan, dan bahkan kasar terhadap kelompok masyarakat lainnya yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka. Secara sosio-kultural dan sosio religius, mereka mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas,” jelas AKP Bayu.
Lebih lanjut ia menambahkan, bahwa perkembangan tafsir keagamaan sempit merupakan benih dari radikalisme, yang disemai oleh para ulama radikal fundamentalis, yang memiliki motif tertentu dengan mengatasnamakan agama, kemiskinan dan keterbelakangan umat.
“Sebagai media pertumbuhannya terjadi karena kondisi perpolitikan, dan kebijakan pemerintah, dan ketidak adilan struktural global sebagai air dan pupuknya, merupakan ulah negara adi kuasa yang menjadikan faktor munculnya para mujahid, atau militan dalam waktu yang sangat instan,” ungkapnya.
AKP Bayu juga menuturkan, bahwa paham radikal berbasis agama (SARA) kerap kali dianggap sebagai cikal bakal berbagai aksi terorisme di Indonesia. Fakta sejarah mencatat berbagai beberapa kejadian yang dapat digolongkan sebagai aksi teror terjadi di NKRI beberapa tahun terakhir.
“Bahaya atau ancaman, prilaku radikalisme dan terorisme dapat dimanfaatkan oleh para pelaku dengan pada situasi tertentu seperti , Pesta demokrasi baik Pilpres, pemilihan legislatif dan kepala daerah dengan mengangkat isu agama. Aksi unjuk rasa disusupi dengan kelompok radikal dan melakukan tindakan anarkis baik kepada aparat maupun terhadap masyarakat sekitar. Melakukan aksi teror dalam perayaan hari besar keagamaan, serta pengrusakan tempat ibadah. Menviralkan kejadian kejadian tertentu, yang berkaitan dengan permasalahan agama di media sosial, dengan maksud untuk menyudutkan pemerintah. Mempengaruhi pola pikir dan pandangan masyarakat dengan pemahaman agama yang tidak benar,” tutupnya.
Untuk diketahui, adapun peserta dari dialog deradikalisasi tersebut, yakni tokoh masyarakat, dan organisasi kemahasiswaan.(*/FM)