Desa

DESA adalah kenyataan/Kota adalah pertumbuhan//Desa dan kota tak terpisahkan/Tapi desa harus diutamakan//
Begitu salah satu tukilan lirik lagu Iwan Fals yang bertitel desa. Ada semangat, juga ada harapan yang hendak meruang. Ada pemberpihakan dan asa yang diungkap begitu bersemangat dalam nada ballad. Iwan Fals kepada kita, seakan ingin mengatakan, bahwa desa mesti kembali diletakkan pada posisinya yang ideal.
Saya kembali teringat lagu ini, beberapa hari setelah Kamis 18 November 2021 berlalu. Hari dimana sejumlah desa melangsungkan kenduri demokrasi. Kenduri adalah pesta dan kegairahan juga kebahagiaan yang guyub. Itulah kenapa pemilihan, dalam berbagai literatur, disebut sebagai kenduri atawa pesta yang mestinya sarat dengan senyum dan bahkan tawa yang meledak-ledak.
Bukan tawa yang meledek, juga bukan kasakitan yang murung, setelah kita menemukan betapa desa seakan tengah mengarah kepada kian hancur leburnya rekatan-rekatan puak atau ikatan-ikatan kebersamaan yang sahaja. Setelah demokrasi datang ditemani trik dan politik kuasa juga kenyataan politik uang yang payah.
Desa yang tadinya, sebagai ruang paguyuban (gemeinschaft) atau kelompok sosial dibalut oleh ikatan batin yang murni alamiah juga kuat serta lestari, non formal dan bersifat intim itu kini bergeser. Bergeser menuju hanya sekedar patembayan (gesellschaft). Sebuah tipe kelompok sosial didasari oleh ikatan yang lemah, bahkan sering kali individunya tidak lagi saling mengenal. Sehingga nilai, norma dan sikap tak lagi berpengaruh besar dalam interaksi sesama. Hubungan hambar dan hanya bersifat serba sementara.
Dalam posisi ini, desa lalu berubah wujud hanya sekedar ikatan-ikatan kepentingan sesaat. Pola hubungan politik kepentingan dan kuasa menjadi warna lain yang rasa-rasanya kian nyata. Dan ditengah itu semua, rasanya penting kita kembali mengutip lagu Iwan Fals sebagaimana pembuka di awal catatan ini:
Desa harus jadi kekuatan ekonomi/Agar warganya tak hijrah ke kota//Sepinya desa adalah modal utama/Untuk bekerja dan mengembangkan diri//
Sebab jika tidak, maka, jangan-jangan ada benarnya pertanyaan Iwan Fals di dalam lagunya itu; Untuk apa punya pemerintah/Kalau hidup terus-terusan susah//
Terakhir kepada kepala desa yang terpilih dan menang. Mari sama serius mendengar lagu Iwan Fals itu, juga memasang telinga mendengar rintihan warga kita dalam suasana guyub. Siapa tahu dengan begitu, kita bisa membangun dan membenahi kekeliruan niat dan kerja-kerja kita.
Seraya bergandengan tangan dengan mereka yang terkalahkan. Sebab kalah dan menang bukanlah soal yang begitu penting, jika kita memang memandang Pemilihan Kepala Desa adalah kenduri kebaikan dan kebersamaan. Ayo mari sama bergandengan tangan memajukan desa dan mengembalikannya ke dalam ikatan yang guyub menuju desa yang berdaya. Tempat kutulusan dan kebaikan disemaikan.
Sumber: Catatan ini telah dimuat di Kolom Rinai Kata Koran Harian Sulbar Express Edisi Senin, 22 November 2021