Dalam Belitan Petuyu’ Buras

SUARA takbir timpal menimpali. Puayi Kaco terdiam. Tak ada kata-kata yang bisa diungkapkan malam itu. Juga kepada siapapun. Puayi Kaco seorang diri. Kopiah hitam berumur, pudar warnanya tergeletak di atas meja tak bertaplak. Ditemani asbak rokok yang menyisakan rokok setengah batang yang basah oleh lumuran ampas kopi. Begitu kebiasaan Puayi Kaco, mengoleskan sisa ampas kopi di batang rokoknya. “Agar rasa kopi menyatu total dalam kepul asap rokok,” dalih Puayi Kaco saat ditanya tentang kebiasaannya itu oleh Kama’ Ulla teman main cekinya suatu waktu di pos ronda kampung.
***
Malam itu. Malam lebaran. Pelan air mata Puayi Kaco menetes. Karena lebaran kali ini jelas berbeda dengan lebaran sebelumnya. Tak ada anak dan cucunya yang pulang mudik di rumahnya yang terletak menyudut di ujung kampung. Membuat ia terpaksa harus menerima kenyataan lebaran dalam kesendirian. Hanya ditemani gema takbir dari rekaman suara perangkat sound sistem masjid.
Dalam tangis juga kesepian yang memeluknya itu, pelan Puayi Kaco juga dirayapi dua rasa bangga sekaligus. Karena ia sukses melewati kesempurnaan dalam kesendirian, sekaligus sempurna melewati ramadan dengan begitu baik.
Bukan saja tentang puasanya yang tuntas sebulan penuh. Tetapi juga, salat tarwih dan witirnya yang tak satupun terlewatkan. Bahkan tak terbilang pula, ibadah-ibadah sunnah lainnya yang bisa ditunaikan. Mulai dari salat tahajjud, dhuha, tasbih, qadha dan salat taubat pada malam ganjil di sepuluh terakhir ramadan. Hingga khatam al quran 30 juzz, sehari sebelum kumandang takbir menggemapun sukses ditamatkan secara seksama.
Tentu saja ini berbeda dengan ramadan sebelumnya, yang karena sakit-sakitan terpaksa empat puasanya lepas dan membuat ia diharuskan telaten meminum obat yang diresepkan mantri dibawah pengawasan istrinya. Tetapi itu puasa ramadan yang lalu, kali ini Puayi Kaco bangga diliputi rasa syukur. Sebab ibadah-ibadahnya bisa terjalani dengan begitu baik.
Namun jauh ke dalam lubuk hatinya, Puayi Kaco kembali diselimuti gunda gulana. Betapa tidak, keesokan harinya Puayi Kaco akan menjalani shalat idul fitri seorang diri. Tanpa anak dan cucunya yang tengah bertumbuh dalam kelucuan dan kehangatan anak-anak.
Kelucuan yang sering kali membuat rumah panggung miliknya menjadi begitu ramai. Mulai dari kegaduhan perebutan bantal untuk tidur pada malam hari. Sampai pada kelucuan anak cucunya yang berebut sajadah dan toples berisi rengginang atau putu bue yang dipesan khusus di rumah Kindo’ Kasmina tetangga sebelah rumahnya.
Kekalutan yang membuat tangisnya harus tumpah malam itu, ditambah pula dengan kenyataan masjid kampung, tempat ia biasa menjadi makmum pun kini tertutup rapat dengan palang bambu dan balok kayu. Juga tulisan pilox himbauan larangan berjamaah di lembar spanduk di pagar masjid.
Membuat dirinya melewati malam idul fitri dalam kesendirian. Persis seperti shalat tarwih dan sejumlah ibadah sunnah lainnya yang nyaris selama sebulan penuh kali ini harus terjalani dalam kesendiriannya.
Belum lagi senyum khas istrinya yang setia menemaninyapun, kini harus sirna dan hanya menyisakan bayangan berbalutkan kerinduan yang sulit diabaikan oleh Puayi Kaco. Sesungging senyum yang selalu menemaninya tatkala Puayi Kaco shalat berjamaah di rumahnya itupun kini sirna.
Seorang perempuan dan makmum shalat yang begitu setia menemani nyaris di semua ruang dan waktu kehidupannya. Perempuan baik yang membuat Puayi Kaco genap total menjadi seorang ayah, juga sekaligus suami dan kepala keluarga.
***
“Hidup adalah jalan menuju kematian, dan rasanya waktunya kian dekat. Pesanku hanya satu, jika lebaran tiba aku minta kepadamu A’bana, sekali ini, telepon dan mintalah anak-anak kita untuk pulang menemanimu berlebaran di rumah ini,” begitu pesan terakhir istrinya, sesaat sebelum dijemput petugas kesehatan yang hanya bisa dikenali perawakannya. Setelah wajah dan badannya tertutup rapat.
Dan sejak itu, Puayi Kaco tidak lagi pernah melihat istrinya. Selain berita televisi yang mengabarkan tentang kepergian istrinya untuk selamanya. Sebagai salah satu pasien yang hanya diberitakan dengan inisial nama, nomor dan kode register angka statistik kematian di pemakaman yang juga tidak bisa ditentukan sendiri oleh Puayi Kaco.
“Iya, untuk sekali ini saya akan mencoba untuk menghubungi dan meminta anak-anak pulang merayakan lebaran. Semoga mereka bisa datang dan tidak ada alasan untuk tidak pulang,” begitu jawab Puayi Kaco kepada istrinya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil putih berserine. Saat itu sepekan menjelang ramadan tiba.
Dan tepat di lima hari terakhir ramadan permintaan itu kembali terekam baik di kepalanya. Iya, Puayi Kaco harus meminta anak-anaknya pulang bersama cucu-cucunya. Walau dalam hatinya diliputi berdebatan. Setelah sebelumnya, tak pernah sekalipun Puayi Kaco meminta anak-anaknya pulang.
“Jangan. Saya tidak mau meminta mereka pulang. Karena jangan sampai mereka tidak bisa pulang karena sibuk dengan pekerjaannya. Itu akan membebani mereka dengan dosa. Karena tidak bisa mengikuti keinginan kita sebagai orang tuanya. Biarlah kita berlebaran berdua. Pun toh kalau mereka datang, kita merayakan bersama mereka. Tetapi jika tidak, juga tidak apa-apa. Toh, selama ini kita sudah terbiasa melewati lebaran dengan atau tanpa mereka,” begitu jawaban yang selalu dikatakan Puayi Kaco, setiap jelang lebaran kepada istrinya yang meminta anak-anaknya pulang.
Namun karena itu pesan terakhir istrinya, bagi Puayi Kaco juga adalah wasiat, maka jadilah tepat di lima hari terakhir ramadan ia menghubungi satu persatu anaknya dan memintanya untuk pulang.
“Saya pasti pulang A’ba. Saya juga mau berziarah ke makam Kindo’u dan anak-anak pasti kami bawa serta. Maafkan saya A’ba,” begitu kata si Sulung di ujung telepon sebelum tangisnya tumpah dan tidak bisa berkata-kata. Sesaat sebelum nada sambung teleponnya putus dan membuat tangis Puayi Kaco ikut pecah.
“Maafkan A’ba anakku, karena terpaksa harus memintamu pulang berlebaran. Karena mendiang Kindo’mu sangat berharap lebaran kali ini engkau bisa pulang Nak. Dan egitulah pesan terakhir Kindo’mu,” begitu pembuka kata Puayi Kaco kepada anak kedua dan anak bungsunya juga melalui telepon.
“Iya saya akan pulang. Semuanya telah saya siapkan untuk pulang lebaran. Dan insya Allah tiga hari jelang lebaran saya pulang A’ba. Saya rindu A’ba. Saya rindu rumah dan saya rindu kampung,” tutur anak kedua dalam tangis yang membuat nada suaranya meraib dan hanya menyisakan isak tangis yang tersendat.
Sedang si bungsu saat menerima telepon Puayi Kaco, tak banyak berkata-kata selain menangis dan hanya menyisakan penggalan kata yang putus-putus di ujung telepon, “maafkan saya A’ba sungguh saya bersalah dan menyesal tidak pulang saat Kindo’u pergi untuk selamanya. Tapi kali ini saya mesti pulang. Maafkan anakmu ini A’ba”.
***
Suara takbir timpal menimpali, Puayi Kaco terdiam. Tak ada kata-kata yang bisa ia ungkapkan malam itu kepada siapapun. Dan tak satupun petuyu’ buras pesanannya yang lepas. Masih setia dalam belitan. Di atas meja. Di ruang dapur rumah Puayi Kaco.
Ketiga anaknya yang tiba dua hari sebelum malam lebaran di kampungnya itupun akhirnya terhenti dan hanya bisa berakhir di ruang isolasi rumah sakit ibu kota kabupaten. Tangis Puayi Kaco pecah dan tumpah. Napasnya memberat dan sesak. Puayi Kaco meraih tasbih dan lalu pelan merafal dzikirnya dari atas rumah panggung kayu miliknya yang lengang itu. Persis seperti masjid, rumah Tuhan di samping rumahnya yang juga sepi dan berdebu.
Gema suara takbir dan talu bedug rekaman dari sound sistem kian bergemuruh. Menyentuh langit malam lebaran yang berjelaga. Putar pilingan tali tasbih Puayi Kaco melambat. Pelan dan lalu terhenti. Di luar rinai jatuh membasahi atap rumah Puayi Kaco. [mst]
Boyang Nol Pitu, Ahad, 24 Mei 2020 / 1 Syawal 1441 H
CATATAN:
Puayi = Haji
A’ba = Ayah
Kindo’ = Ibu
Petuyu’ = Pengikat
Putu Bue = Kudapan kering terbuat dari kacang hijau dan gula aren
Buras = Makanan yang terbuat dari beras santan berbungkus daun pisang