KOLOMMUHAIMIN FAISAL

Penempatan Kantor BPK Sulbar dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Disbud Sulbar

(bagian pertama dari 10 tulisan)

Kebudayaan di Tengah Krisis Ekologi Sulawesi Barat

Sulawesi Barat hari-hari ini berada pada persimpangan penting antara pembangunan, efisiensi anggaran (lebih tepatnya pemotongan anggaran) dan keberlanjutan. Di satu sisi, daerah-daerah di Indonesia, termasuk provinsi ini harus memacu diri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Sebenarnya jauh sebelum hari ini, tapi godaan untuk masuk ke dalam arus percepatan ekonomi melalui ekspansi pertambangan, perkebunan skala besar, dan proyek-proyek berbasis ekstraksi sumber daya alam, menemukan momentumnya ketika terjadi pemotongan anggaran ke semua daerah. Musibah di Aceh dan Sumatera sebagai akibat dari kerakusan, tidak cukup mampu untuk menjadi rem atas hasrat ekonomi yang membuncah, apalagi jadi ruang reflektif, meskipun asumsi peningkatan Pendapatan Asli Daerah di sektor ini sesungguhnya masih semu.

Di sisi lain, proses tersebut berlangsung di atas ruang hidup masyarakat Mandar dengan bentang budaya yang mulai rapuh, padahal selama berabad-abad menjadi fondasi identitas, pengetahuan, dan sistem sosial masyarakat Mandar di Sulawesi Barat.

Salah satu penyebabnya karena generasi hari ini gagap membedakan mana kebudayaan, mana produk kebudayaan, bahkan lebih dari itu, kita permisif pada tafsir kebudayaan yang dimonopoli para seniman sehingga hari ini kita menjumpai diri sebagai orang yang sibuk mengurusi citra tentang tradisi tidak sungguh-sungguh tradisi. Sibuk mengurusi produknya, bukan belajar pada keunggulan komparatif nenek moyang kita yang menemukan dan menghasilkan produk kebudayaan tersebut.

Kerapuhan tersebut menunjukkan bahwa persoalan kebudayaan Mandar tidak lagi semata berkaitan dengan hilangnya artefak atau berkurangnya ekspresi tradisi, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam, yakni cara kebudayaan dipahami, dikelola, dan diposisikan dalam kerangka pembangunan. Ketika kebudayaan direduksi menjadi citra, produk, atau peristiwa seremonial, maka ruang-ruang hidup tempat kebudayaan itu lahir dan diwariskan justru semakin terpinggirkan.

Dalam situasi seperti ini, keputusan-keputusan kebijakan yang tampak administratif sesungguhnya memuat konsekuensi epistemologis dan politis yang besar, karena ia menentukan apakah kebudayaan akan diperlakukan sebagai sistem kehidupan yang utuh atau sekadar sebagai komoditas simbolik yang mudah dipindah, disatukan, dan dihitung.

Dalam konteks ini, rencana penempatan kantor Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Sulawesi Barat -yang mulai merayap didorong dan ditarik untuk tiba dalam satu kawasan dengan UPTD Taman Budaya Sulawesi Barat di Kabupaten Polewali Mandar, sementara ibu kota provinsi berada di Mamuju- tidak dapat dibaca sebagai persoalan teknis belaka. Ia adalah persoalan politik ekonomi kebudayaan, yang akan menentukan apakah negara hadir untuk memperkuat kebudayaan sebagai sistem hidup, atau sekadar mengelolanya sebagai objek administratif beserta kalkulasinya.

Patut diingat bahwa kebudayaan berpotensi berubah menjadi sensasi identitas ketika keadilan tidak diperoleh, kebudayaan bisa jadi tumpuan untuk bertengkar kalau kalkulator menjadi alasnya.

Lebih jauh, diskursus mengenai revitalisasi kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari krisis ekologis yang sedang berlangsung. Berbagai aksi massa di Tikke, Patulana, Karossa, Lariang, Kalumpang, Kalukku, Tubo, Pamboang, mungkin nanti menyusul Topoyo, Sampaga, Andreapi dan seterusnya.

Kerusakan hutan, degradasi pesisir, pertambangan mineral dan pasir, serta ekspansi perkebunan monokultur telah mengubah lanskap sosial dan budaya masyarakat Sulawesi Barat. Dalam kondisi seperti ini, kebudayaan tidak hanya terancam oleh modernisasi dan globalisasi, tetapi oleh hilangnya ruang hidup itu sendiri.


Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang fokus melihat Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat (BPK Sulbar) dalam Bayang-Bayang Krisis Ekologi dan Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat (Disbud Sulbar)

MUHAIMIN FAISAL

Selain aktivis sosial, seni dan budaya serta lingkungan. juga terlibat aktif dalam mendorong advokasi kebijakan publik serta kemandirian ekonomi rakyat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: