BERADA tepat di belakang sebuah sekolah taman kanak-kanak di Matakali, sekitar satu kilo dari jalan poros Sulsel-Sulbar dan sekitar seratus meter dari jalur poros Matakali-Makkombong, sejumlah pemuda tampak sibuk mempersiapkan upacara memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke 57.
Ditengah lapangan yang penuh rerumputan dan terkesan tak begitu terawat baik, dua buah onggokan batu tampak menjadi saksi dari replika perjalanan sejarah yang nyaris terlupa dari memori sejarah orang-orang Mandar Sulawesi Barat.
Torehan sejarah konon pernah tercatat di tempat itu. Adalah Ma’ruf, salah satu pemuda Matakali yang menyebutkan, bahwa upacara peringatan dan pengibaran bendera merah putih yang dilakukan oleh puluhan pemuda siang, Kamis 17 Agustus kemarin di Batu Bandera itu adalah salah satu cara mereka untuk menziarahi sejarah pengibaran bendera pertama di Mandar Sulawesi Barat.
“Ini adalah sejarah Sulawesi Barat. Konon di tempat inilah pertama kali dilakukan pengibaran bendera merah putih yang dilaksanakan sesuai standar pengibaran bendera ala militer kala itu,” ujarnya.
Mungkin ada pula yang mengklaimnya bahwa pengibaran bendera merah putih pertama itu berada di tempat lain, namun yang Ma’ruf percayai, di tempat itulah pertama kali dilakukan pengibaran bendera sebagaimana standar keprotokoleran layaknya tata laksana upacara pengibaran bendera merah putih.
“Yang saya tahu di tempat ini. Di Batu Bandera ini, dan itu terjadi tanggal 10 Oktober 1946 dan dihadiri sejumlah pejuang termasuk salah satunya, Hj. Andi Depu atau yang dikenal sebagai Ibu Agung,” ujarnya.
Tak heran jika dari puluhan pemuda jelang siang Kamis itu, dua orang lainnya tampak bergegas mengangkat lood speaker aktif dan yang lainnya juga sibuk memanggul bendera serta permadani warna merah. Dari baju mereka yang berwarna hijau dan sisanya bercorak militer, ketahuan mereka adalah bahagian dari salah satu organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Ya, mereka adalah pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan badan otonomnya, Barisan Ansor Serbaguna (Banser).
Sejurus kemudian, baik Ansor pun Banser kemudian tampak sibuk menyiapkan barisannya serta mempersiapkan semua perangkat upacara pengibaran bendera yang akan mereka gelar siang itu. Sedang sisanya sibuk merapatkan barisannya. General repetisi mereka lakukan sebelum akhirnya mereka kemudian menggelar upacara resmi pengibaran bendera merah putih beberapa menit kemudian.
Tidak Ada Kata Kecuali Lawan
Bertindak selaku inspektur upacara, Ketua GP Ansor Cabang Polewali Mandar, Busyra Baharuddin yang dalam amanatnya lebih banyak meyinggung seputar pentingnya generasi muda meningkatkan jiwa patriotisme dan nasionalismenya.
“Semoga melalui momentum 17 agustus ini, kita bisa meningkatkan jiwa patriotisme dan nasionalisme dan menjadi generasi yang bisa membuat negara kita makmur dan tenteram,” ujarnya tegas.
Dikatakannya, setelah 72 Indonesia menafak sejarahnya sebagaimana yang telah ditanamkan oleh para pahlawan terdahulu, dan Hadratusy Syaikh KH.Hasyim Asy’ari melalui resolusi jihad pada tanggal 22 Oktber 1945 menjadi penggerak utama yang menginspirasi perlawanan heroik 10 Nopember 1945. Sebuah perjuangan yang dilakukan oleh NU dengan upaya kuat menggerakkan ulama dan santri untuk melawan pemerintah asing merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Padahal, menurut amanat Busyra, saat itu rakyat berada dalam kondisi miskin dan serba kekurangan dan dengan persenjataan yang amat minim. Akan tetapi, berkat motivasi para ulama termasuk ulama NU yang mentransformasikan doa dan wirid menjadi sebuah sugesti besar untuk melawan penjajah kala itu.
“Hal inilah yang mengantarkan kita pada kemerdekaan. Demikian peran pentingnya para ulama sehingga pada kesempatan ini kita ada disini. Jika ada yang mencoba merongrong kebhinekaan dan NKRI, maka mereka itu dengan sendirinya telah mencedari perjuangan para alim ulama. Maka tidak ada kata kecuali lawan”.
Para ulama, menurutnya, selalu menganjurkan toleransi melalui komunikasi dalam konteks mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia. Hilangnya komitmen kebangsaan yang disebabkan oleh globalisasi yang membonceng liberalisasi.
Artinya, masih menurut Busyra, spirit watahaniah dan nasionalisme perlu tetap dipupuk di kalangan pemuda, “sebab kondisi negara kita seperti saat ini berada di alam kemerdekaan harus kita syukuri dan kita jaga. Bukan justru dirusak.”
“Karena apa yang ada di Indonesia kini, adalah sejarah panjang perjuangan. Kita tidak ingin menjadi negara gagal yang keliru meramu hubungan antara negara dan agama. Sebab jika kita keliru, maka rakyatlah yang akan menjadi korban. Begitu yang terjadi di sejumlah negara lain di negera luar hari ini. Mereka nyata gagal karena keliru meramu. Sedang di negara sekuler juga diluar, kini mengalami masalah setelah mereka terlalu mendewakan rasionalitas dan menafikan agama. Kita tidak ingin seperti mereka. Kita ingin menjadi Indonesia,” tandasnya.