
BEREDARNYA kabar tentang terbitnya buku “Tuhan Lagi Ngapain; Sapaan Seorang Hamba pada Tuhannya” di media sosial, membuat saya tak sabar untuk segera membacanya. Melalui kawan saya, Muhammad Abid, ia kirimkan foto sampul buku tersebut. Segera saya memesan tanpa bertanya lagi tentang isi buku tersebut.
Ada dua alasan mendasar untuk segera menyerap kandungan karya yang ditulis Annangguru Muhammad Syibli Sahabuddin.
Pertama, sejak lama, sosok Kiai Syibli dikenal sebagai tokoh penting dalam upaya penguatan dan pencerahan umat (Islam). Dalam setiap ceramah maupun pengajiannya, beliau selalu menyajikan tema-tema menukik. Bahkan bukan mustahil, seringkali menerobos batas-batas Imajinasi Teologis yang telah menjadi pakem dan paten selama ini di benak publik.
Keberanian menerobos dengan mengajukan pertanyaan jitu itulah, membuat kehadirannya selalu dinantikan. Demikian halnya saat melihat sampul buku karya beliau yang bertuliskan: “Tuhan Lagi Ngapain?”. Pertanyaan ini, pada sudut pandang tertentu, akan disahuti sebagai sikap ketidak patutan. Sebab bagaimana mungkin ada orang yang sedemikian vulgarnya mengajukan pertanyaan seputar ‘kesibukan’ Tuhan?
Tapi itulah yang menjadi alasan kedua untuk segera membaca Ulasan seorang Ulama dari Tanah Mandar ini. Sekaligus sebagai sikap untuk tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu dari kulit luarnya saja (don’t judge a book by its cover). Bahwa di kalangan para pegiat wacana esoterisme Islam, buku sejenis ini penting menjadi nutrisi intelektual. Sebab dewasa ini, buku-buku agama, seringkali hanya diminati jika terkait dengan simulasi maupun tutorial beragama.
Lebih dari itu, hanya dibumbui dengan konten ajaran yang cenderung menggunakan jurus simplifikasi, penyederhanaan terhadap masalah Agama. Pada titik krusial, agama yang sedari awal mengajarkan konsep kelemah-lembutan, justeru diproduksi dengan jejak pemikiran beralas kebencian dan caci-maki.
Dalam buku “Tuhan Lagi Ngapain” ini, sangat terasa bahwa penulis sedemikian kental dengan pergulatan wacana Teologis. Ajaibnya, sebab dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan bercita rasa teologis itu, acap kali diperhadapkan dengan tuntutan menerjemahkan pesan Ilahi ke dalam berbagai peran dan agenda kehidupan duniawi. Sehingga disadari atau tidak, kerap muncul pergulatan pemikiran tentang fungsi-fungsi Agama bagi kehidupan. Atau dalam bentuknya yang sederhana, yakni, kemampuan menginterpretasi gagasan Ilahi agar terus membumi.
Dalam kondisi itulah, tanpa aba-aba, Kiai Syibli tiba-tiba mencelupkan nalar pembaca pada samudera hikmah yang tak bertepi. Seolah-olah Kiai Syibli sedang menuntun nalar pembaca untuk tak sekedar ber-muwajahah dengan isi buku yang ditulisnya. Melainkan ada dimensi yang lebih dahsyat dari itu. Bahwa dalam tradisi minim literasi, hal paling menyedihkan karena manusia modern kian menunjukkan potret kekeringan ruhani.
Maka dalam tulisan pertama buku tersebut, tertuang pesan betapa pentingnya memahami hakikat ke-apa-an manusia. Sebab jangan lupa, kita sering linglung membedakan antara sarrinna beru’-beru’, dan beru’-beru’ masarri. Untuk menguji kesadaran itu, pembaca disuapi dengan tema kedua tentang Teologi Bencana. Bahwa kekerdilan menangkap ayat-ayat ilahi pada realitas kauniyah telah berimplikasi pada hilangnya kesadaran ekologis yang notabene juga bagian dari makhluk Tuhan. Pada posisi yang minus kesadaran itulah, berlaku hukum-hukum eksploitasi besar-besaran.
Mengapa demikian? Lagi-lagi konsep pengharapan seorang hamba kepada Tuhannya tidak sedang berada titik koordinat yang tepat. Mari menyimak praktik-praktik pragmatisme politik yang kian dilazimkan sebagai tata krama merebut kekuasaan. Nyaris dalam setiap kompetisi politik, dimensi ilahiyah tak didudukkan sebagai remote control penjaga keadaban publik. Sebaliknya, Agama seringkali ‘dijual’ untuk merebut simpati rakyat, mendulang suara massa.
Penting kiranya menyimak tentang hakikat mengucap Alhamdulillah. Rupanya bukan sekadar ucapan terima kasih kepada Tuhan. Lebih dari itu, spiritualis bagi para pengucap alhamdulillah meniscayakan pentingnya seorang hamba untuk terus-menerus bersikap rendah hati. Seraya menghadirkan kesabaran dalam dirinya. Karenanya, kalimat Alhamdulillah tidak patut diucapkan di saat kita sedang berhasil mengalahkan orang. Bahkan lebih tertolak lagi, jika ada yang mengucap hamdalah karena berhasil mempecundangi orang.
Para pengucap alhamdulillah, dituntut agar mampu menyelaraskan dengan sikap menjaga lisan. Salamatul Insan fii Hifdzil Lisan. Demikian pesan bijak dari orang-orang Arab. Harapan ini bukan bersifat personal semata. Melainkan kiranya mampu menjadi bagian dari etika publik yang tertuang dalam isyarat tak tertulis dari sistem sosial kita.
Namun, gagasan ini tentu tak sesederhana yang dibayangkan. Diperlukan energi besar untuk menariknya ke dalam proyek masa depan peradaban, khususnya di tanah Mandar. Sehingga, fase paling penting untuk memulainya hanya akan diperoleh ketika seorang hamba berani membuka tabir kebatinannya sembari mencelupkan dirinya dalam samudera kearifan.
Lalu di titik mana kita menemukan jawaban tentang ‘kesibukan’ Tuhan? Sebagaimana pertanyaan “Tuhan Lagi Ngapain?”. Jawabannya, hanya Allah dan penulisnya yang tahu tentang itu.
Anda penasaran? Miliki buku ini! Setelah memilikinya, apakah anda masih penasaran? Ber-mutalaqqi-lah. Segera temui penulisnya. Hadirlah layaknya malaikat Jibril yang menjumpai Nabi Saw, lalu bertanya tentang hakikat Iman, Islam dan Ihsan. Wallahu A’lam. []
Mamuju, 18 juni 2020