MAKASSAR, TAYANG9- Di saat Tuhan meniupkan Ruh-NYA, itulah awal kehidupan, sungguh manusia hanya menerima titipan Ruh dari Sang Maha Hidup, Dzat yang selalu ada tidak didahului oleh ketiadaan (Kekal) dan tidak diakhiri dengan ketiadaan (Abadi). Pemberian kehidupan dari Dzat Maha Hidup sudah dilengkapi dengan waktu meski Dia tidak terikat waktu.
Ajal, takdir, umur dan rezeki semua adalah ketentuan dan rahasia Tuhan yang terikat waktu. Manusia dengan kelemahannya hanya bisa menyaksikan takdir-takdir itu beroperasi setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan hingga tahun. Satu minggu yang lalu, kami masih berbincang dan bersenda gurau. Muh. Tonang masih sehat wal afiat, sedikit pun kami tidak mengetahui detik setelahnya.
Pada hari Senin, 16 Desember 2024, Muh. Tonang pamit kepada keluarganya untuk melaksanakan tugas dinas ke Jakarta. Rabu malam, 17 Desember masih video call dengan anak istrinya. Hari Senin itu juga pak Tonang, demikian kami menyapanya, ternyata sudah melunasi Pemakaman Darussalam Valley, Gowa kepada pak Ilyas, pengelola makam. Seperti sebuah isyarat, sebentar lagi kepala kantor wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan itu akan menghadap Ilahi.
Memasuki waktu pagi di Kamis, 19 Desember, sekitar pukul 09:15 WIB, di tengah candaan dengan kawan-kawan Kakanwil seluruh Indonesia dan ajudan, tiba-tiba beliau tersungkur jatuh dan lemas terbaring di kursi panjang. Beliau butuh proses lama, untuk turun dari lantai 12 hotel menuju Lobi. Orang sekitar terdiam seribu bahasa. Mereka mengiranya pingsan karena kelelahan.
Mentari menyingsing di pagi hari, terdengar penuturan dari sang ajudan yang menyaksikan almarhum, baru kali itu merapikan isi kopernya, lengkap dan rapi. Menyimpan jam tangan dan dompet. Dua benda yang harus melekat pada diri kita. Tapi beliau menyimpan rapi dalam kopernya. Seolah almarhum merasakan pertanda bahwa ia akan melanjutkan perjalanan jauh di sana.
Pada hari itu juga, ternyata pak Tonang meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Beliau sempat mengirim pesan WhatsApp kepada sang istri, “Tidak pulang ma.” tulisnya via chat. Biasanya pesannya tidak seperti itu. Biasanya beliau hanya berpesan singkat, “Saya masih tinggal” chat nya kepada istrinya.
Dari pengakuan sang istri, sekitar sebulan lalu, dia memerhatikan sang suami, pujaan hatinya, ketika pak Tonang menuju pintu pagar, terbisik dalam hati.
“akankah kepergiannya untuk selamanya,” perasaan sang istri itu sering menggelayut, tetapi ia selalu menepisnya. Sang istri selalu berdo’a:
“Berikanlah kesehatan, ya Allah,”
“Tetapi, doaku kurang sempurna, tidak begitu yakin”, imbuh sang istri.
“Mestinya dilanjutkan dengan doa, semoga sehat dan panjang umur,” sambungnya.
Istri dan keluarga yang ditinggalkan pak Tonang harus ikhlas atas kepergian sang pahlawan keluarganya.
“Tetapi masih kurang ikhlas juga”, pengakuan sang isteri sambil menyeka air matanya yang mengalir deras.
“Tidak mungkin Tuhan memberi cobaan, kalau kita tidak kuat menanggungnya. Pasti ada hikmahnya”, katanya lagi untuk menguatkan diri. Memang demikianlah janji Tuhan dalam surah Al-Baqarah: 286,
“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Kini keluarga pak Tonang kehilangan seorang lelaki, suami sang pahlawan dimana tempat tumpuan keluarga berada, bahunya menjadi tempat yang nyaman di saat menyandarkan kepala di kala duka. Selama ini, beliau sangat terbuka dan sering berdiskusi dengan sang istri.
“Sebulan terakhir, beliau terkadang merenung dan menerawang. Pandangannya menerawang. Dalam satu kesempatan, beliau cenderung menyendiri, padahal sedang membuka dan menyaksikan acara yang ramai,” masih sang istri sembari bicara terseduh-seduh.
Beliau juga sedang gencar-gencarnya mempersiapkan Hari Amal Bakti (HAB) tanggal 3 Januari 2025 mendatang. Dengan sejumlah rangkaian kegiatan. Mungkin itulah takdir Tuhan. Kasih sayang Tuhan tentu lebih besar dari manusia, Tuhan lebih sayang kepada pak Tonang. Beban pekerjaan yang mendera, terasa ringan semua, terlepas dari ikatan dan tanggung jawab duniawi.
Tepat pada hari Jumat, 20 Desember 2024, Muh. Tonang dimakamkan di Pemakaman Darussalam Valley, Gowa. Di atas pusaranya, isakan tangis terdengar di setiap sudut makam, bukti bahwa yang telah pergi membawa rindu abadi kepada Sang Ilahi. Karangan bunga yang berjubel, berbaris memenuhi lorong kompleks kediamannya. Untaian kalimat “Turut berduka cita” tersirat pesan duka, mengantarkan almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Seorang sahabat, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Kementerian Agama RI, Dr. Muhammad Zain, menyaksikan dirinya sulit mengucap kata demi kata. Hanya doa terpatri dalam hati yang terus mengalir untuk sahabatnya.
“Atas nama keluarga,” sahabatnya, Zain memulai.
Sang sahabat melanjutkan dengan air mata mengalir, atas nama saudara, atas nama sahabat, atas nama Kementerian Agama RI, atas nama keluarga Besar Nahdlatul Ulama, atas nama keluarga besar GP Ansor, keluarga besar PMII, mengungkapkan belasungkawa yang sangat dalam. Semoga keluarga anak dan istri almarhum dianugerahi ketabahan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Tiga hari lalu masih bersenda gurau, ada hal penting yang harus disampaikan. Almarhum mengatakan: “kalau itu kebaikan, saya akan kerjakan,” kemarin saya tahu kabar duka dari Jakarta, dari Mamasa langsung berangkat ke pemakaman almarhum. Minggu lalu kami bersama-sama menjemput Menteri Agama RI, Prof, Nasaruddin Umar di Polewali Mandar, terus ke Majene hingga balik ke Makassar. Tidak ada tanda sedikit pun, makan siang bersama, sempat bersenda gurau, tidak ada tanda-tanda.
Beliau adalah orang baik dan orang sholeh, terlihat disaat almarhum dimakamkan, begitu banyak yang mengantarkan jenazahnya dari berbagai penjuru. Saya harus menempuh perjalanan lebih dari 10 jam dari Mamasa untuk saudara saya. Puluhan tahun kami bersama-sama berjuang dari mahasiswa hingga berjuang di Jakarta, beliau tinggal di rumah almarhum Dr. Harifuddin Cawidu dan Hj. Asmara Cawidu (Paman dan tantenya).
Almarhum ketika ditimpa masalah, mendahulukan senyum sebelum bicara. Almarhum membangun hubungan yang sangat baik kepada Guru, senior dan juniornya, bahkan kepada teman-temannya. Senyum dulu baru bicara. Inilah takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Maulana Jalaluddin Rumi pernah bergumam tertulis abadi di batu nisannya, sebuah nasihat Rumi, untuk jadi renungan kita yang masih hidup;
“Ketika aku meninggal nanti, jangan engkau mencari pusara ku di muka bumi. Tapi carilah pusara ku di hati umat manusia”
Maulana Jalaluddin Rumi, meski jasadnya telah terkubur 800 tahun lalu, ia tetap hidup dalam universalitas cinta bagai sumber mata air samudera bagi kita semua dalam menghadapi kematian. Jalaluddin Rumi menggambarkan kematian sebagai jembatan penghubung antara sang Maha Cinta dengan Pencinta, Seperti dalam bait syairnya dalam Fihi Ma Fihi.
“Di malam sebelumnya aku bermimpi. Melihat seorang syekh di pelataran rindu, Ia menudingkan tangannya padaku dan berkata: Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.”
“Jangan pernah kau berpikir bahwa aku merindukan dunia ini. Janganlah meneteskan air mata, jangan meratapi, atau menyesaliku. Aku tidak akan jatuh ke dalam sarang makhluk yang mengerikan. Ketika melihat jenazahku diusung, Janganlah menangis karena kepergianku. Aku bukan pergi: Aku telah sampai kepada Cinta Yang Abadi.”
“Ketika engkau meninggalkanku di dalam kuburan, janganlah mengucapkan selamat tinggal. Ingatlah, kuburan hanya bagi Surga yang berada di baliknya, engkau hanya akan melihatku diturunkan ke kuburan, sekarang, lihatlah aku bangkit.”
“Bagaimana bisa ada akhir? Saat matahari terbenam atau bulan tenggelam, ini terlihat seperti akhir, Ini terlihat seperti matahari yang terbenam, tetapi sebenarnya, ini adalah fajar. Saat kuburan mengurungmu, saat itulah jiwamu terbebaskan”
“Melihat benih yang jatuh ke bumi tidak menumbuhkan kehidupan baru? Mengapa mempertanyakan bangkitnya benih yang bernama manusia? Ketika, untuk terakhir kalinya, engkau menutup mulutmu, Kata-kata dan jiwamu akan menjadi milik dunia yang tanpa ruang, tanpa waktu. Kematian terburuk adalah tanpa Cinta Kenapa kerang menggigil? Demi mutiara! Setiap dada tanpa Sang Kekasih adalah badan tanpa kepala”
“Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri.”
Pak Tonang sudah meninggalkan kita, sudah berbeda alam dengan kita, tetapi kebaikannya, senyumnya masih ada di hati kita. Mohon maafkan jika ada kesalahan almarhum, anak istrinya adalah keluarga kita semua.
“Selamat jalan sahabatku, engkau menempuh kehidupan baru nan abadi. Semoga Husnul khatimah. Lahu Al-fatihah” tutup Zain sembari menahan tangis, menyentuh pusara tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.
Dikutip dari Pesan Sahabat almarhum, Dr. Muhammad Zain (Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Kementerian Agama RI)