Bau Mara’e, Puarang dan Puasa

PUASA ramadan sebentar lagi datang. Aromanya begitu terasa. Tetapi ia tidak sama seperti aroma ikan kering (baca: bau mara’e) yang menyengat dan mewabah di seantero kampung saat kita membakarnya di rumah kita yang berdinding gamacca (anyaman bambu).

Karena puasa ramadan bukan soal makanan dan hidangan yang mencubit selera lidah kita. Puasa juga bukan hanya soal sirup, mudik, ngabuburit dan leduman yang ternyata tidak mempan merusak konsentrasi puarang (biawak) yang konon memang budeg telinganya itu.

Apalagi puasa tak hanya soal razia warung segala warung yang buka. Mulai dari warung makan hingga warung remang-remang. Juga, puasa bukan hanya soal seberapa banyak rakaat tarwih yang kita amalkan.

Puasa adalah ujian nyata kita dalam menakar kesalehan. Baik kesalehan transendental maupun kesalehan sosial kita. Bahwa puasa juga bukan soal sejarah dan memori kebangkitan sepotong lammang (semacam lemper dari ketan) yang saat jelang buka, disiram air gula aren dan sedikit serbuk parutan kelapa yang belum begitu tua.

Tetapi puasa secara sosiologis juga adalah keseruan hidangan dan kampung halaman dan keguyuban keluarga kecil yang tak berurusan dengan miskin kayanya seseorang. Puasa adalah milik mereka yang diminta Tuhan untuk menjedahkan perutnya dari kemaruknya melahap segala hal.

Sampai disini, puasa adalah cara Tuhan mengajari kita pentingnya solidaritas sesama yang dilengkapi dengan zakat agar kita menemui fitrah dan kesucian.

Lalu adakah suasana puasa akan kembali sama seperti ramadan kita di waktu-waktu yang lampau. Dengan segenap kedahsyatan kultural dan tradisinya? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan ditengah kondisi dunia yang tengah dibebani ketakutan akan wabah virus.

Dari kenyataan atas pertanyaan ini, maka sekali lagi, puasa menjadi momentum kita untuk menguji kemampuan kita mengerem laku kemaruk dan nafsu kita. Termasuk sejumlah nafsu kita untuk mudik, shalat berjamaah ditengah pendemik dan menempatkan puasa sama dengan puasa-puasa sebelumnya.

Dan jawaban dari semua itu adalah biarlah kita berpuasa dengan tidak ikut mempuasakan kesabaran kita. Ayo mari berpuasa di bulan ramadan ditemani kesabaran dan keridhaan kita menerima bencana.

Semoga keridhaan, kesabaran, kehausan dan kelaparan kita, kelak ikut melapangkan jalan mudiknya virus kembali kepada habitat dan ketiadaannya. Dan lalu kita bisa sama berseru selamat jalan kepada virus-virus itu.

Seraya membuka lebar tangan kita dan berucap lirih pula santun, marhaban ya ramadan. Marhaban ya idul fitri.

Boyang, 23 April 2020

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Recent Posts

Hikayat Batik Nusantara, AQF Batik Sulbar Raih Juara Harapan 1 di TMII

Jakarta,Tayang9- AQF Batik Sulawesi Barat meraih juara harapan 1 pada acara Hikayat Batik Nusantara di…

3 jam ago

Tim PKM-RSH Turannapau Unsulbar Serahkan Modul Debat To’dopuli Mandar ke Tiga Lembaga Pendidikan di Majene

Majene, Tayang9 – Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) resmi…

20 jam ago

Kurikulum Berbasis Cinta dan Ekoteologi: Sekjend Kemenag RI Jelaskan Cinta Kepada Sesama

Polewali Mandar, Tayang9 – Seminar bertajuk Kurikulum Berbasis Cinta dan Ekoteologi yang digelar di Hotel…

2 hari ago

PW ISNU Sulbar 2025–2030 Dilantik, Sekjend Kemenag RI: Utamakan Kolaborasi dan Pengabdian

Majene,Tayang9 – Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Sulawesi Barat masa khidmat 2025–2030…

2 hari ago

LDKH Unsulbar Mengecam Keras Tindakan Oknum Penyebar Berita Hoax Terhadap Mahasiswa Papua di Kota Pendidikan Majene

MAHASISWA adalah representasi dari sebuah perubahan. sebagai insan cita yang mengedepankan pahaman keilmuan,kreatifitas serta nantinya…

2 hari ago

Anak Muda Sulbar Antusias Sambut kehadiran KAMI di Mamuju

MAMUJU, TAYANG9 — Pengurus Pusat Kaukus Anak Muda Indonesia (PP KAMI) secara resmi menyampaikan ucapan…

4 hari ago