Categories: ABDUL MUTTALIBKOLOM

Semesta Bahasa

KETIKA bahasa tidak hanya berupa bunyi dan tanda. Pada saat itu pula, bahasa tidak cukup dimaknai sebagai tulisan dan ujaran yang mudah dibaca. Iqro, bisa jadi bukaan bacaan, bukan pula seperangkat materi untuk berbicara. Ia sudah melampaui peristiwa kebahasaan.

Peristiwa kebahasaan itu strukturnya. Semacam mekanisme yang girang diterjemahkan ke dalam aspek keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Iqro justru sebaliknya. Tiada awal dan akhir, tiada pangkal tiada ujung.

Tidak berjalan linear serupa ungkapan pupuler, “hemat pangkal kaya, belajarlah biar pintar.” Tapi apakah orang yang hemat sudah pasti kaya? Belum tentu. Apa orang yang berlajar sudah pasti pintar? Tidak juga. Semuanya relatif alias tidak mengenal hukum kepastian.

Saking tidak pastinya, sehingga dibutuhkan kesadaran yang tidak linear yang tidak mengenal hukum sebab-akibat. “Pintar penting, tapi beruntung jauh lebih penting,” kata KH. Zawawi Imron di suatu kesempatan. Ternyata, di atas kaya dan pintar ada istilah keberuntungan.

Lalu keberuntungan ini wilayahnya ihtiar atau takdir?

Bukankah, sepintar-pintarnya orang pintar-masih lebih pintar orang yang jauh lebih pintar. Sekaya-kayanya seseorang, pasti masih ada yang lebih kaya. Iqro melampau itu semua. Ia tidak berjalan, tidak pula diam di tempat. Tidak di dalam tidak di luar. Iqro bisa jadi perjumpaan antara yang pergi dan yang pulang.

Awal sekaligus akhir. Tapi jika iqro dimaknai sebagai permintaan dan perintah untuk membaca. Logikanya ada yang meminta dan ada yang dimintai untuk membaca. Apa yang mesti di baca? Iqro. Iqro itu apa? Iqro. Bagaimana iqro di baca? Iqro.

Sesaat terdiam, dan dilanjutkan bismirabbikallari khalaq (dengan nama Tuhanmu). Ada jeda, sebelum frasa di atas. Layaknya ruang yang sekaligus mewaktu pada batas air dan minyak, pada muara tempat perjumpaan air tawar dan air laut. Jeda waktu di antara laut dan ombak.

Semacam ruang negosiasi dalam diam. Tiada bahasa. Diam. Serupa tadabbur. Seperti tafakkur. Setelah itu terbitlah pengertian demi pengertian yang melampau batas ideologi, mazhab, paradigma, keyakinan, budaya bahkan agama.

Mungkin semacam rintik hujan. Hujan yang membasahi. Hujan yang meruapkan sekelebatan bau tanah yang ditangkap indra penciuman. Baunya di mana? Seperti apa? Hanya ada pada pengertian. Pengertian dari peristiwa kebahasaan, di tengah luasnya semesta bahasa.

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Recent Posts

Anak Muda Sulbar Antusias Sambut kehadiran KAMI di Mamuju

MAMUJU, TAYANG9 — Pengurus Pusat Kaukus Anak Muda Indonesia (PP KAMI) secara resmi menyampaikan ucapan…

2 hari ago

Tingkatkan Ekonomi Nelayan, Bupati Polman Serahkan Bantuan Sarana Prasarana Perikanan Kepada Nelayan

POLEWALI MANDAR, TAYANG9 - Upaya Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (Polman), meningkatkan…

2 hari ago

Warga Mateng Hibahkan Lahan 7.5 Ha di Karossa untuk Pembangunan Sekolah Rakyat

MATENG, TAYANG9 - Program sekolah rakyat (SR) di Mamuju Tengah (Mateng) akhirnya peroleh berkah berupa…

3 hari ago

Ady Suratman: Minta Teguhkan Ideologi dan Amalkan Nilai Pancasila

POLMAN, TAYANG9 – Dalam rangka menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, Bawaslu Kabupaten Polewali Mandar (Polman) menggelar upacara…

3 hari ago

Lantik Pengurus KWMSB, Zain Tekankan Pelestarian Budaya Mandar Melalui Keluarga

JAKARTA, TAYANG9 - Peran Kerukunan Wanita Mandar Sulawesi Barat (KWMSB) dalam pelestarian kebudayaan Mandar melalui…

5 hari ago

Cinderamata untuk Ketua Baru: Harapan Baru bagi RAPI Polman

POLEWALI MANDAR, TAYANG9– Dalam suasana penuh kebersamaan dan bersahaja, pemilihan Ketua Radio Antar Penduduk Indonesia…

6 hari ago