Categories: GAGASANOPINI

Kebijakan Sampah Daerah: Ketika Aturan Tidak Cukup untuk Mengubah Realitas

PENGELOLAAN sampah telah menjadi isu krusial dalam tata kelola lingkungan daerah. Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar, misalnya, mencoba merespons masalah ini dengan menetapkan Peraturan Bupati Polewali Mandar Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Kebijakan dan Strategi Daerah Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Kabupaten Polewali Mandar, yang mengatur strategi pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis. Tujuannya sejalan dengan Jakstranas, kebijakan nasional yang menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan 70% pada tahun 2025.

Namun, sebagaimana yang sering terjadi di banyak daerah, dokumen regulasi yang baik tidak otomatis menghasilkan perubahan nyata. Saya melakukan kajian literatur terhadap kebijakan ini dengan menggunakan pendekatan teori implementasi dari Grindle (1980), Van Meter & Van Horn (1975), serta Goggin et al. (1990). Hasilnya menunjukkan bahwa banyak elemen penting dalam proses pelaksanaan justru tidak dirancang atau dimanfaatkan secara optimal.

Dari Dokumen ke Lapangan: Masih Ada Jurang

Misalnya, Pasal 4 dan 5 Perbup No. 28/2018 secara eksplisit menetapkan target pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan 70% hingga 2025. Namun, menurut Grindle, keberhasilan implementasi bukan hanya ditentukan oleh isi kebijakan, tetapi juga konteks sosial dan eksekusinya. Jika tujuan normatif ini tidak diikuti dengan kejelasan peran dan sumber daya di tingkat lokal, maka efektivitasnya rendah.

Kebijakan ini secara normatif memang tampak lengkap: ia menetapkan target, strategi teknis, bahkan skema evaluasi tahunan. Namun, persoalan muncul ketika kita bertanya: siapa yang menjalankan? Dengan sumber daya apa? Dan apakah masyarakat dilibatkan?

Dalam kebijakan ini, peran pelaksana teknis seperti unit TPS, RT, atau pemerintah desa tidak dijelaskan secara rinci. Koordinasi antarinstansi juga banyak berlangsung secara informal, tanpa protokol komunikasi yang jelas. Dalam perspektif Goggin et al., kegagalan dalam komunikasi lintas institusi adalah salah satu penyebab utama kegagalan kebijakan publik.

Distribusi sumber daya juga bermasalah. Meski regulasi menyebutkan bahwa pembiayaan berasal dari APBD, tidak ada detail teknis tentang bagaimana anggaran didistribusikan hingga ke pelaksana terdepan. Akibatnya, banyak petugas lapangan yang bekerja tanpa pelatihan, tanpa panduan teknis, dan tanpa dukungan kelembagaan yang cukup.
Sebagai contoh, Pasal 6 menyebutkan pendanaan berasal dari APBD. Namun, teori Van Meter & Van Horn menggarisbawahi pentingnya distribusi sumber daya yang merata hingga ke pelaksana teknis. Tanpa pembagian tugas dan dukungan yang konkret di tingkat desa atau RT, kebijakan akan stagnan.

Masyarakat Hanya Penonton?

Peraturan ini memang menyebutkan pentingnya partisipasi masyarakat. Namun, tanpa mekanisme operasional seperti kelompok warga, sistem insentif, atau program edukasi, keterlibatan publik sulit terjadi. Hal ini bertentangan dengan bukti-bukti empiris: studi di Makassar oleh Kubota et al. (2020) menunjukkan bahwa bank sampah berbasis komunitas bisa meningkatkan kinerja pengelolaan sampah secara signifikan.

Lebih dari itu, Michael Lipsky (2010) menyebut bahwa para pelaksana di lapangan — “street-level bureaucrats” seperti petugas kebersihan dan kepala dusun — memainkan peran besar dalam menentukan apakah kebijakan berjalan atau tidak. Ketika mereka tidak dilibatkan sejak awal, diskresi mereka di lapangan bisa menyimpang dari tujuan kebijakan.

Evaluasi Tanpa Suara dari Bawah

Evaluasi kebijakan juga masih bersifat top-down: laporan dikirim ke gubernur dan menteri, tapi tidak ada mekanisme umpan balik dari pelaksana teknis di bawah. Hal ini membuat proses evaluasi menjadi ritual administratif yang tidak menyentuh substansi pelaksanaan.
Pasal 18 dan 19 dalam Perbup hanya mengatur pelaporan ke gubernur dan menteri, tanpa mekanisme umpan balik dari pelaksana. Padahal, menurut Grindle dan Van Meter, evaluasi yang efektif harus melibatkan mereka yang bekerja langsung di lapangan agar bisa menjadi proses reflektif, bukan hanya administratif.

Menurut Grindle, implementasi kebijakan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan politik lokal. Jika faktor seperti kebiasaan warga, kapasitas lokal, dan hubungan antar aktor tidak diperhitungkan, maka kebijakan cenderung gagal diterapkan.

Apa yang Bisa Diperbaiki?

Pertama, kebijakan perlu diterjemahkan ke dalam pedoman teknis operasional yang memuat indikator, SOP, dan pembagian tugas hingga level terkecil. Kedua, kapasitas pelaksana harus diperkuat dengan pelatihan, dukungan anggaran, dan forum koordinasi rutin. Ketiga, pelibatan masyarakat harus dilakukan secara struktural melalui insentif dan edukasi. Keempat, evaluasi kebijakan harus melibatkan aktor garis depan agar prosesnya lebih reflektif dan adaptif.
Model implementasi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan top-down atau simbol hukum semata. Dibutuhkan advocacy coalition — kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan LSM — untuk membentuk sistem pengelolaan yang benar-benar hidup.

Mengapa Ini Penting?

Sampah bukan sekadar masalah teknis, tetapi cerminan dari bagaimana kebijakan diterjemahkan menjadi praktik. Jika regulasi hanya berhenti di meja birokrasi, maka sampah akan terus menumpuk sebagai residu dari sistem yang gagal mengintegrasikan realitas sosial ke dalam desain kebijakan.

Kita tidak kekurangan regulasi. Yang kurang adalah mekanisme, kapasitas, dan komitmen untuk menjadikan regulasi itu sebagai alat perubahan nyata. Sudah waktunya kebijakan lingkungan hidup di daerah ditinjau ulang, tidak hanya dari apa yang tertulis, tetapi juga dari apa yang benar-benar dikerjakan.


Tentang Penulis: Abd. Rahman. P adalah, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Al Asyariah Mandar, aktif dalam Kajian Kebijakan Publik

 

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Recent Posts

Suara Tuhan di Antara Denting Sendok dan Senyuman

DISELA riuhnya lagu pujian dan tawa anak-anak yang memenuhi jalanan kampung Tabone PADA perhelatan pekan…

12 jam ago

Tabone: Dari Kampung Sunyi ke Pusat Rohani

DIBALIK lekukan pegunungan nan indah serta jalanan kecil yang tenang, Kelurahan Tabone biasanya dikenal sebagai…

22 jam ago

Pelantikan Pejabat Eselon II Sulbar Tertahan, SDK Kritik Proses di BKN

MAMUJU, TAYANG9 – Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat (Pemprov Sulbar) hingga kini masih menanti turunnya Persetujuan…

1 hari ago

Pawai Ta’aruf Tahun Baru Islam 1447 H Warnai Semangat Hijrah di Mamuju

MAMUJU, TAYANG9 – Semangat perubahan dan kebangkitan terasa kuat menyelimuti langit Mamuju saat ribuan warga…

1 hari ago

Cegah Sengketa Pertanahan, Menteri Nusron Ajak Kepala Daerah Sosialisasikan Pemasangan Tanda Batas Tanah

SUMEDANG, TAYANG9 - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengajak…

1 hari ago

OTP 37 Mamuju Melaju Final Polman Cup V, Kandaskan Makmur Jaya Enrekang 4-2

POLEWALI MANDAR, TAYANG9 - Tim OTP 37 Kabupaten Mamuju, melaju final turnamen sepak bola antar…

2 hari ago