SUARA adzan asar berkumandang. Sore lepas siang itu, sejumlah aktivis, mahasiswa, pegiat demokrasi dan kepemiluan, akademisi, juga para aktor pergerakan tampak hadir dengan senyum sumringah. Satu persatu dari mereka tampak sibuk memesan minuman dan sejumlah penganan di Cafe Candu Wonomulyo.
Panas di jalan rabat beton depan cafe itu, cukup menyengat, sejumlah kipas angin yang diletakkan di berbagai sudut memutar dan berkesiur di dalam cafe yang berada di teras rumah mendian Kak Aswan Achsa, sapaan karib sejumah murid sang aktivis pergerakan itu.
Usai adzan asar, sejumlah sosok tampak sibuk mempersilahkan puluhan orang dari berbagai latar dan profesi yang hadir pada acara Diskusi Buku Catatan Demokrasi Pemilu dan Pilkada Serentak karya Munawir Ariffin, sang aktivis, sang komisioner KPU Polman, juga seorang akademisi itu. Saat itu kalender menunjuk hari Sabtu, 20 Desember 2025.
Sejurus kemudian diskusi yang dipandu, Hamza Katta dimulai dengan narasi demokrasi, pemilu dan pilkada serta tujuan dari diskusi yang dimotori LIAR, Mammesa juga Fisip Unasman itu.
Satu persatu para pembicara mengemukakan pandangan dan pembacaannya atas buku yang merupakan kompilasi tulisan artikel dan opini populer milik Munawir Ariffin yang tersebar muat dan tayang di sejumlah media cetak dan media online itu.
Pada pemaparan M. Syariat Tajuddin misalnya, dikatakan, pada dasarnya setiap orang mampu menulis catatan tentang fenomena sosial dan politik, termasuk Pemilu dan Pilkada. Namun, keterbatasan teknis dan kemauanlah yang kerapkali membuat banyak gagasan kritis dan baik tidak tercatatkan dan terdokumentasikan dalam tulisan.
Pada akhirnya, singgung Syariat, buku yang terbagi dalam tiga bagian dan terdiri dari 28 judul itu memuat sejumlah catatan yang tidak saja urgen sebagai bagian dari literasi dan pendidikan politik, “tetapi juga memiliki makna untuk melanggengkan bergeraknya demokrasi dalam diskursus maupun dalam ejawantahnya di kehidupan politik praktis kita dalam bernegara dan berbangsa”.
Karena itu, lanjut Syariat, dirinya sangat mengapresiasi Munawir Arifin yang mampu menuangkan refleksi kepemiluan ke dalam sebuah buku yang di dalamnya memuat pesan penting, seperti evaluasi sistem, partisipasi publik, serta dampak Pemilu dan Pilkada bagi masa depan demokrasi.
Ia menambahkan, buku tersebut juga menyinggung kelompok-kelompok strategis dalam demokrasi, seperti perempuan, pemilih pemula, dan penyelenggara Pemilu. Menurutnya, catatan tersebut penting bagi siapa pun yang memiliki ketertarikan terhadap isu kepemiluan dan politik.
Sementara itu, Doktor Muhammad Massyat yang hadir sebagai nara sumber pembanding, dalam paparannya mengulas buku Catatan Demokrasi dari perspektif akademik, khususnya isu gender. Ia menilai buku ini hadir sebagai refleksi atas perjalanan demokrasi Indonesia, bukan sebagai kesimpulan akhir dari proses demokratisasi.
“Dalam pembahasan saya, isu keperempuanan menjadi salah satu pintu masuk untuk melihat bagaimana demokrasi kita bekerja. Buku ini penting dibaca sebagai refleksi, karena demokrasi bukan sesuatu yang selesai,” kata Massyat.
Pada penjelasan penulis buku itu, Munawir Ariffin mengatakan, buku Catatan Demokrasi Pemilu dan Pilkada Serentak ditulis sejak 2019 hingga 2023, namun baru diterbitkan pada 2024 akibat dinamika pergantian kepemimpinan di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ia menyebut, bukunya itu disusun sebagai alat dan bahan kajian untuk memahami Pemilu dan Pilkada, baik dari sisi umum maupun teknisnya.
“Di dalam buku ini memang banyak dibahas hal-hal teknis, seperti regulasi kepemiluan, peraturan KPU, hingga peran penyelenggara. Mungkin bagi sebagian pembaca terasa berat. Tetapi itu penting untuk melihat bagaimana demokrasi prosedural bekerja,” ujar Munawir.
Dalam penjelasan berikutnya, Munawir juga menyinggung perbedaan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial.
Menurutnya, perkembangan teknologi telah membuat manipulasi suara semakin sulit, namun tantangan demokrasi justru bergeser pada upaya elit politik dalam memenangkan suara melalui berbagai cara.
“Demokrasi prosedural sering membuat kita jenuh. Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan demokrasi substansial, termasuk soal kesetaraan, keterwakilan perempuan, dan kualitas partisipasi publik,” katanya.
Munawir juga menyoroti pentingnya demokrasi di tingkat desa. Ia menilai, hak dan kedaulatan rakyat sesungguhnya paling nyata berada di desa, sehingga kesadaran politik warga menjadi kunci utama dalam membangun demokrasi yang sehat.
Dalam diskusi tersebut, isu afirmasi politik perempuan juga menjadi perhatian. Munawir menyebut, perdebatan mengenai kuota 30 persen keterwakilan perempuan menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih berproses menuju kesetaraan yang utuh.
“Partisipasi perempuan sangat menentukan kualitas demokrasi kita. Semakin banyak perempuan terlibat dan berbicara politik, semakin kuat pula demokrasi itu sendiri,” ujar Komisioner KPU Kabupaten Polman itu.
Mengakhiri pemaparannya, Munawir menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai proses elektoral semata.
Ia mengutip pandangan filsuf Jurgen Habermas yang menyebut bahwa demokrasi lahir dari ruang diskusi publik.
“Demokrasi bukan hanya soal Pemilu, tetapi juga tentang kesadaran, diskusi, dan keberanian warga untuk terlibat,” tutup Munawir.
Alhasil, acara yang semula dipenuhi dengan suara kritis atas pembacaan demokrasi, pemilu dan pilkada yang cukup lantang disuarakan para aktivis, akademisi dan tokoh pergerakan yang hadir sebagai peserta pada acara itu, mendadak berubah dan ditutup dengan suasana hening.
Sejumlah peserta tertunduk, mengenang Kak Aswan Achsa. Sedetik berikutnya, pembacaan suratul fatihah secara bersama dimulai dan dikirimkan untuknya.
Saat itu, senja mulai mengintip diiringi suara tarhim jelang magrib terdengar dari loadspeaker masjid di sekitar Cafe Candu Wonomulyo.
Urgensi Pembentukan Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat Kondisi pengelolaan kebudayaan di Sulawesi Barat selama ini…
POLMAN, Tayang9 - Menjelang perayaan Natal, personil gabungan Kodim 1402 Polman dan Sat Samapta Polres…
Situs Budaya dan Komunitas Adat di Bawah Tekanan Korporasi Situs budaya -baik berupa artefak, lanskap,…
Balai Pelestarian Kebudayaan: Mandat, Fungsi, dan Keterbatasan serta Relevansinya dengan Pemerintah Provinsi Secara kelembagaan, BPK…
MAKASSAR, TAYANG9 – Ketua Komisi I DPRD Provinsi Sulawesi Barat, H. Syamsul Samad, resmi menyandang…
Penempatan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Barat Rencana penempatan kantor BPK Sulawesi Barat di Kabupaten…