Categories: ABDUL MUTTALIBKOLOM

Keniscayaan Panggung

SERING kali panggung pada sebuah pementasan kesenian luput menjadi tema diskursus pelaku kesenian. Entah itu pementasan teater, musik tradisi, dan kegiatan diskusi serta sarasehan yang menggunakan panggung.

Panggung yang ramai ketika ada hajatan seni, tapi mendadak sepi, menakutkan bahkan dihuni hantu usai pementasan. Panggung seolah sebatas pelengkap dari sebuah lakon. Panggung seolah hanya menjadi dekorasi pemanis yang sifatnya dibutuhkan sebelum dan ketika pementasan tengah berlangsung.

Para penonton pun dengan mudah diajak menyaksikan kemegahan panggung atas kekuatan alur cerita, permainan setting, penataan lighting dan tata suara yang kompak memainkan harmoni. Entah itu panggung yang sudah dibayar cash, atau panggung yang masih sebatas di kas bon.

Entah itu panggung bermodel proscenium arch, panggung thrust, dan panggung teater arena. Panggung yang sudah disarati kepentingan atas sukses tidaknya pemanggungan. Panggung terlihat perkasa menampung gagasan tiap palakunya, tapi mendadak tak berdaya ketika lampu sorot dimatikan.

Tirai ditutup, penonton pulang dan lazimnya (hanya) mendiskusikan kehebatan skenario penulis, keunggulan sutradara, kekuatan aktor dan kemegahan lay out panggung. Panggungnya di mana? Panggung hanya alat menyampaikan pesan.

Belum menjadi rangkai pesan. Hanya menjadi media penyampaian pesan atas fatsun, ideologi, dan kemerdekaan kreasi yang hendak digelorakan. Panggung sebatas pelengkap seremoni. Serupa panggung para pemimpin upacara yang saban waktu kehujanan, didera terinya panas matahari dan menjadi papan landasan ketika menyulut pidato atau orasi yang berapi-api di tanah lapang.

Setelah itu, sepi, sunyi. Hanya anak kecil yang rela bermain dan berdiri di panggung itu. Anak kecil yang sesekali terlihat belajar hormat pada bendera, meski belum sesuai standar kehumasan. Panggung penghormatan yang lazim dipadati hanya di hari senin, dan perayaan kemerdekaan yang terkadang mengharu biru.

Saban waktu anak kecil itu terus merawat nostalgia perjuangan dari para pahlawan dan mungkin juga bagi para pelaku teater, musik, dan tari tradisi yang sudah sepuh. Pahlawan dan pelaku kesenian tradisi yang banyak memiliki jasa.

Jasa yang sering disaksikan di atas panggung. Panggung yang selayaknya dimaknai sebagai medan makna dalam memahami etos, daya juang, serta perlawanan yang belum dan mungkin tak pernah usai di rawat oleh anak itu di dalam sanubarinya. Anak kecil itu boleh jadi hadir semacam metafor.

Semacam cela. Semacam jeda yang meminta sela dalam memandang panggung sebagai kenicayaan proses. Nicaya bagi para aktor kehidupan yang tidak lagi terpaku, terpukau bahkan silau atas hasil pemanggungannya sendiri.

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Recent Posts

Gubernur SDK Pimpin Upacara HUT ke-80 RI di Anjungan Pantai Manakarra

MAMUJU, TAYANG9 – Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menggelar upacara pengibaran bendera Merah Putih dalam rangka…

1 hari ago

Pesta Merdeka Bareng E-Sport, Gubernur Sulbar Dorong Generasi Muda Salurkan Bakat Digital

MAMUJU, TAYANG9 – Dalam rangka menyemarakkan HUT RI ke-80, Gubernur Sulbar, Suhardi Duka (SDK), secara…

2 hari ago

Gubernur SDK & Ketua PKK Ikut Seru-Seruan di Lomba HUT ke-80 RI Pemprov Sulbar

MAMUJU, TAYANG9 – Kemeriahan HUT ke-80 RI di lingkungan Pemprov Sulbar belum berhenti. Setelah para…

2 hari ago

Wagub Sulbar Gandeng Bidokkes Polda Perkuat Gerakan Anti Stunting

MAMUJU, TAYANG9 - Wakil Gubernur Sulawesi Barat Salim S Mengga memimpin rapat koordinasi bersama Bidokkes…

2 hari ago

Hari Jadi Majene ke-480, Wagub Ajak Pemimpin Jadi Teladan dan Pelayan Rakyat

MAJENE, TAYANG9 – Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga, menghadiri Rapat…

2 hari ago

Dzikir HUT RI di Mamuju, Gubernur Sulbar Ajak Masyarakat Perkuat Moral Bangsa

MAMUJU, TAYANG9 – Gubernur Sulbar, Suhardi Duka (SDK), menghadiri dzikir bersama dan tausiah bertema "Menuju…

2 hari ago