Di Laut, Menanti Keajaiban
BELUM ada kesepakatan tentang siapa yang harus di habisi dari salah satu kru kapal. Perahu Lepa-lepa hanya bisa muat empat orang sementara kru berjumlah lima orang. Disinilah momen yang paling mengharukan mengambil keputusan yang amat pedih. Mereka lama terdiam hampir seharian tak ada diantara nahkoda yang sanggup untuk memulai soal siapa yang harus jadi korban.
Semuanya seakan berat hati untuk melakukan pembunuhan dalam kondisi kesusahan. Maka tiba-tiba saja kru yang satu mengambil Bose (dayung sampan) hendak memukul orang dinggap paling tua. Ku’ding sontak mencegat tidakan temannya itu yang dianggap sebagai tindakan tanpa perikemanusiaan.
“Haiiii paingarang ooo (Sadarlah), kita semua disini adalah keluarga. Sammandarang i tau. Lamba tau sumombal merua panra. Da tau nasi pate-patei dini. Dotami tau sammateamg di lolalangang,” hardik Ku’ding dengan menggunakan bahasa Mandar.
Suasana menjadi kacau, terjadi perdebatan yang alot. Dua kubu terpecah dengan kondisi genting. Ada yang sepakat atas tindakan pebunuhan degan alasan tidakan ini sudah jalannya disaat kesusahan, namun ada pula yang menolak dengan alasan sisi kemanusiaan. Melalui diskusi panjang hingga petang, mereka akhirnya sepakat untuk mengambil jalan tengah yakni membagi dua kelompok bergantian berada di atas Lepa-lepa untuk istirahat sehari semalam. Dua orang diatas Lepa-lepa, tiga orang didalam laut berpegang di pinggir perahu. Dan paginya lagi giliran tiga orang diatas perahu sementara yang dua juga dibawah. Itu dilakukan terus menerus selama sebulan lebih dengan bergantian diatas Lepa-lepa.
Waktu terus berlalu, sudah 14 hari mereka berlima hanyut ditengah lautan. Belum ada tanda-tanda akan adanya secerca harapan untuk selamat. Kadang keberentungan hinggap kepadanya meski hanya melihat lampu-lampu kapal pengangkut minyak dari kejauhan saat malam hari. Cahaya itu menyadarkan bahwa mereka masih hidup. Ingin teriak untuk meminta pertolongan namun seakan sia-sia. Tangisannya hanya didengar oleh burung-burung camar dalam lelapnya, disaksikan luasnya langit yang penuh bintang berkedip. Hidup mereka bagaikan berada di ruang hampa. Tak berarti untuk menangis, memikirkan anak istrinya di kampung. Derita mereka lebih tragis dari film Of Pi.
Kulit mereka pun kian melepuh, perlahan terkupas bagaikan kulit bawang pengaruh endapan air laut. Ku’ding dkk tinggal menanti keajaiban Tuhan, berharap mengirimkan kapal kepadanya untuk sesegara datang menolong. Kering tenggorokan dibasahi asinnya air laut. Mereka terus bertahan, sampai Tuhan menghentikan proses hidupnya terdampar ditengah lautan.
#Bersambung
Disari dari kisah alm. Ku’ding