Kaco Cicci Berdoa dalam Kesedihan
JELANG siang itu Kaco tertunduk, matanya nanar dan berair mata, layaknya orang kalah dalam pertarungan. Cicci yang menyaksikan itu, dari belakang mendekat dan menyentuh pundaknya dan bertanya, “apari’ na’angga’mu malussur sannal, apakah gara-gara kopi puli’mu yang napettamai lali’ tadi pagi, ataukah karena manu’mu yang manus nawawa uwai banjir bandang diongin?”.
Seraya menyeka air bening yang jatuh, matanya menatap dalam mata Cicci yang bening itu, seraya berucap, “tidakkah engkau saksikan di hari-hari terakhir ini, begitu banyak para annangguru, panrita, anna tomala’bi kero anna pappeyappunna lao di Pungallahu Ta’ala telah berpulang? Sebagai tau ammang, sungguh kita sangat kehilangan, betapa mereka yang telah memberi kita contoh, pe’guruang macoa telah pergi satu-satu. Sementara yang tersisa kini hanyalah orang-orang seperti kita yang tidak saja ammang dan cangngo’ tetapi juga pawali-wali anna po’la-po’la”, tutur Kaco dalam nada pelan seraya menggenggam tangan Cicci.
Cicci yang mendengar itu, ikut dalam kedukaan Kaco dan hanya bisa ikut memegang erat tangan Kaco seraya belajar memahami kondisi perasaan Kaco yang merasa kehilangan itu. Keduanya lalu sama tertunduk dan pelan sama merapalkan doa-doa terbaiknya untuk annangguru dan panrita yang mala’bi kero anna gau’na dan baru saja beberapa jam yang lalu telah berpulang ke Rahamatullah. Innalillahi Wa Inna Ilayhi Rojiun. Bi Husnil Khatimah. Alfatihah. [mst]